WahanaNews.co | Di masa lalu, proses pengiriman kapal selam yang dibeli Indonesia dari Uni Soviet dimata-matai oleh Armada ke-7 Angkatan Laut Amerika Serikat. Mereka terus mengintai sejak Kepulauan Okinawa hingga Selat Makassar.
Akhir 1950-an, Presiden Sukarno memiliki rencana menuntaskan masalah Irian Barat dengan cara militer, di samping jalur diplomasi. Terkait itu, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) lantas memperkuat persenjataan dengan alat-alat perang mutakhir buatan Uni Soviet. Salah satu-nya adalah mendatangkan kapal selam jenis Whiskey (W).
Baca Juga:
Lima Negara yang Dapat Menjadi Sekutu Indonesia dalam Perang Dunia ke-3
Awal Mei 1959, proses pengalihan semua kapal-kapal perang (termasuk kapal selam) milik Uni Sovyet kepada ALRI sudah dilangsungkan. Menurut sejarawan militer asal Rusia Alexander Okorokov dalam Тайные войны СССР (Perang Rahasia Uni Sovyet), rencana operasi itu dipersiapkan dengan cermat dan ketat di bawah supervisi seorang perwira menengah bernama Kapten Tingkat I P.Vosmak. Semua kapal perang dilengkapi dengan persenjataan artileri paling canggih saat itu.
"Beberapa saat sebelum kapal-kapal perang itu diberangkatkan ke Indonesia, Angkatan Laut Uni Soviet melakukan perbaikan besar-besaran di Dalzavod," ungkap dosen sejarah di Akademi Ilmu Militer Rusia itu.
Awal Agustus 1959, dua kapal selam pertama dikirimkan ke Indonesia. Misi itu melibatkan sejumlah awak kapal selam berkebangsaan Rusia pimpinan dua perwira menengah: Kapten Tingkat II S.M. Susoev untuk S-79 dan Kapten Tingkat III F.S. Volovik untuk S-91. Ikut bersama mereka sejumlah calon awak kapal selam ALRI yang dipimpin oleh dua perwira menengah ALRI.
Baca Juga:
Jokowi Katakan Harga Gandum dan Pupuk Naik Imbas Perang Ukraina dan Rusia
"Mereka adalah Mayor J.Koesno dan Mayor R.P. Poernomo. Kelak mereka menjadi komandan di Kapal Selam RI Tjakra dan Kalal Selam RI Nanggala," ungkap Laksamana Muda (Purn) I Nyoman Suharta.
Pada 25 Agustus 1959, dua kapal selam itu mulai memasuki Laut Jawa. Beberapa jam sebelum memasuki Pangkalan Laut Surabaya, terlihat sebuah pesawat Neptune milik Angkatan Laut Amerika Serikat mengintai pergerakan mereka dari ketinggian sedang. 'Pengawalan' itu berlangsung hingga kapal-kapal selam tersebut memasuki Pangkalan Angkatan Laut Dermaga Ujung, Surabaya.
Pengintaian intens kembali dilancarkan oleh Armada ke-7 Angkatan Laut Amerika Serikat saat Uni Soviet mengirimkan lagi 4 kapal selam jenis W ke Indonesia pada 30 Oktober 1961. Dikisahkan oleh Okorokov, bagaimana rombongan kapal selam itu terus diawasi sejak Kepulauan Okinawa (Jepang) oleh pesawat-pesawat patroli laut AL Amerika Serikat.
"Mereka melakukan pengawasan sampai rombongan kapal selam Whiskey memasuki Selat Makassar," ungkap Okorokov.
Namun situasi paling menegangkan justru terjadi di detik-detik terakhir konflik Indonesia-Belanda. Ketika itu Operasi Djajawidjaja (rencana menginvasi Irian Barat secara besar-besaran) akan segera diluncurkan. Enam kapal selam pun diberangkatkan ke Bitung (Sulawesi Utara) sebagai persiapan menerobos perairan Irian Barat.
Persoalan muncul ketika ALRI tidak memiliki kru lagi untuk mengisi 6 kapal selam itu. Maka untuk mengantisipasi situasi tersebut, pemerintah RI memakai jasa ratusan kru kapal selam Angkatan Laut Uni Soviet. Mereka ada bukan saja sebagai instruktur, namun juga sebagai tenaga tempur aktif.
"Saya berangkat (ke Irian) bersama ratusan kru Uni Soviet untuk bertempur di Irian Barat," Kolonel (Purn) F.X. Soeyatno, salah satu eks anggota Korps Hiu Kencana ALRI.
Situasi tersebut memaksa Armada ke-7 Angkatan Laut Amerika Serikat untuk langsung memantau pergerakan kapal-kapal selam buatan Uni Soviet tersebut. Menurut Okorokov, kedua pihak bahkan sudah memegang posisi koordinat masing-masing.
"Orang-orang Rusia di kapal-kapal selam ALRI malah sudah mempersiapkan diri untuk terlibat dalam pertempuran terbuka dan perang tanpa batas," ungkap Okorokov.
Beruntung Belanda mengikuti saran Amerika Serikat untuk menyelesaikan masalah Irian Barat ke meja perundingan di PBB. Otomatis kesepakatan itu menjadikan semua kekuatan bersenjata kedua negara pun ditarik ke pangkalan masing-masing hingga perang benar-benar tak terjadi.
Jika tidak, sudah dipastikan untuk kali pertama Perang Dunia III akan meletus di perairan Irian. [qnt]