Pekan lalu, Nikkei melaporkan bahwa para pejabat NATO sedang melakukan pembicaraan dengan Jepang untuk membangun “jalur komunikasi khusus untuk berbagi informasi keamanan sensitif dengan cepat” yang dapat melawan plot disinformasi yang dilakukan oleh negara-negara seperti China dan Rusia.
Rencana NATO untuk membuka kantor penghubung di Jepang dilaporkan terhenti tahun lalu setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan kekhawatiran bahwa tindakan tersebut akan memprovokasi China.
Baca Juga:
Klaim NATO tentang Bantuan Militer Iran ke Rusia di Ukraina Tak Berdasar dan Bermotif Politik
Sebuah artikel opini yang dipublikasikan pada bulan Juli oleh Global Times, sebuah tabloid yang dikelola oleh Partai Komunis China, menyatakan bahwa NATO merupakan "monster mengerikan yang harus dihindari dengan segala cara" dan mengancam aliansi tersebut dengan "konsekuensi serius" jika terlibat di Asia.
Lebih lanjut, artikel tersebut menyebutkan bahwa "dengan lebih jelasnya, NATO harus segera menarik kehadirannya yang telah meluas ke kawasan Asia-Pasifik, dan aliansi ini tidak boleh merencanakan untuk menguasai setengah wilayah di masa depan."
Pernyataan ini mencerminkan ketegangan yang semakin meningkat antara China dan NATO, dengan Beijing menekankan agar aliansi tersebut tidak terlibat dalam urusan Asia.
Baca Juga:
Terpilih Jadi Sekjen NATO, Ini Profil Perdana Menteri Belanda Mark Rutte
Pensiunan Laksamana Angkatan Laut AS James Stavridis, yang sebelumnya menjabat sebagai panglima tertinggi sekutu NATO di Eropa, beberapa waktu lalu memberikan peringatan bahwa sengketa wilayah yang melibatkan China dapat memicu perang dunia baru.
Dia menyatakan bahwa ada "jendela waktu" sekitar 10 tahun untuk mempersiapkan kemungkinan tersebut.
Sementara itu, hubungan antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin semakin menguat sejak dimulainya perang di Ukraina, meskipun secara resmi Beijing tetap netral dalam konflik tersebut.