WAHANANEWS.CO, Jakarta - Konflik bersenjata antara Israel dan Iran bukan hanya menelan korban jiwa, tetapi juga menyeret perekonomian Israel menuju jurang krisis.
Para analis memperkirakan setiap rudal Iran yang mendarat di wilayah Israel menyebabkan kerugian ekonomi sekitar 200 juta dolar AS per hari, atau setara Rp 3,2 triliun.
Baca Juga:
Evakuasi dari Kawasan Konflik: Kemlu Pastikan Seluruh WNI Aman
Kerugian tersebut mencakup beban anggaran besar untuk mengoperasikan sistem pertahanan berlapis seperti Iron Dome, David's Sling, Arrow, hingga THAAD.
Menurut laporan Wall Street Journal yang mengutip para analis pertahanan, seluruh sistem ini kini beroperasi nyaris tanpa henti, menyedot dana negara secara luar biasa.
"Untuk mempertahankan wilayah udara dari gelombang rudal Iran saja, Israel harus menggelontorkan sekitar 200 juta dolar per hari," ungkap seorang analis pertahanan kepada media itu.
Baca Juga:
Rudal Iran Kini 3 Kali Lebih Akurat, Israel Akui Mulai Kewalahan
Namun, dampak dari serangan Iran bukan hanya terlihat di anggaran negara. Kehidupan sosial dan kegiatan ekonomi masyarakat ikut terguncang. Media Israel, Maariv, melaporkan banyak toko di Tel Aviv yang tutup, jalanan lengang, dan aktivitas ekonomi terhenti.
Kantor berita Iran, Tasnim, menyebut serangan balasan Teheran telah memunculkan kekhawatiran serius atas stabilitas keuangan dan sosial jangka panjang di Israel.
Maskapai penerbangan asing menangguhkan operasional dari dan ke Israel, bahkan beberapa memindahkan pesawat mereka karena wilayah udara regional turut ditutup.
Sektor bisnis juga terpukul. Banyak aktivitas manufaktur, perdagangan, hingga layanan pendidikan berhenti. Ketegangan konflik membuat pengeluaran pertahanan Israel meroket.
Deutsche Welle mencatat bahwa anggaran pertahanan Israel pada 2024 melonjak 65 persen hingga mencapai 46 miliar dolar AS, atau 8,8 persen dari PDB – tertinggi kedua di dunia setelah Ukraina.
Pada 2025, Israel masih mengalokasikan 38 miliar dolar AS untuk sektor pertahanan.
Pemerintah Israel berusaha menambal defisit dengan menaikkan pajak pertambahan nilai dari 17 persen menjadi 18 persen, serta menaikkan tarif pajak layanan kesehatan.
Tapi langkah ini justru memicu kemarahan publik yang merasa sudah terdampak berat akibat perang.
"Di luar kehancuran, hilangnya nyawa, dan tragedi manusia, sumber daya yang besar harus dihabiskan untuk memobilisasi pasukan dan memperoleh peralatan,” bunyi laporan tersebut.
Krisis tenaga kerja pun semakin memburuk. Puluhan ribu tentara cadangan meninggalkan pekerjaan sipil mereka demi bergabung dalam pertempuran.
Di sisi lain, pencabutan izin kerja bagi warga Palestina memperparah kekurangan tenaga kerja domestik.
Ekonom Universitas Tel Aviv, Itay Eter, menyatakan bahwa kondisi ini sangat mengkhawatirkan.
"Peperangan yang dialami Israel sangat mahal dan ada ketidakpastian yang besar soal bagaimana mengatasi perang yang berlanjut pada jangka pendek maupun panjang," katanya.
Ia menambahkan, “Ini pasti akan berdampak negatif pada defisit anggaran, PDB, dan tingkat utang Israel.”
Menurut Eter, risiko hengkangnya para investor asing kini sangat tinggi.
“Risiko jangka pendek bagi investor telah meningkat,” ujarnya. Ia pun memperingatkan bahwa jika perang dengan Iran terus berlangsung tanpa kejelasan, maka akan sangat sulit bagi Israel untuk kembali menstabilkan perekonomiannya.
“Jika kita memasuki perang yang berkepanjangan dengan Iran – yang merupakan kemungkinan nyata – tidak mungkin ekonomi Israel akan pulih,” kata Eter tegas.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]