WahanaNews.co | Amerika Serikat tengah mengkaji rencana memasok senjata baru ke Ukraina, setelah Rusia terus mengerahkan pasukannya ke perbatasan.
Beberapa sumber Gedung Putih mengatakan pemerintahan Presiden Joe Biden juga tengah bersiap menghadapi kemungkinan invasi Rusia ke Ukraina dalam waktu dekat.
Baca Juga:
Bantu Rusia, Terungkap Kim Jong Un Kirim Tentara ke Ukraina
Wacana pengerahan bantuan militer ini diusulkan AS setelah Ukraina mewanti-wanti publik bahwa invasi Rusia bisa berlangsung paling cepat Januari mendatang.
Sejumlah sumber mengatakan paket senjata yang akan dikerahkan AS ke Ukraina antara lain kendaraan tempur dan lapis baja, anti-armor Javelin, mortir, hingga rudal anti-tank.
AS juga dikabarkan mempertimbangkan mengerahkan rudal pencegat ke Ukraina. Kementerian Pertahanan bahkan mendesak mengerahkan sejumlah senjata yang semula akan dikirim ke Afghanistan untuk dikirim ke Ukraina saja.
Baca Juga:
Selama di Indonesia Paus Fransiskus Tak Akan Naik Mobil Mewah-Anti Peluru
Beberapa senjata itu mencakup helikopter Mi-17. Helikopter Mi-17 adalah helikopter Rusia yang awalnya dibeli AS untuk diberikan ke Afghanistan.
Namun, sejak AS resmi menarik diri dari Afghanistan pada Agustus lalu, Pentagon masih mempertimbangkan nasib masa depan helikopter-helikopter tersebut.
Dikutip CNN, sejumlah pihak khawatir pengerahan pasokan alat utama sistem pertahanan (alutsista) ke Ukraina ini dapat menimbulkan kesalahpahaman Rusia dan memicu eskalasi besar-besaran.
Mantan Letnan Kolonel AS, Cedric Leighton, mengatakan rudal anti-tank Javelin cukup efektif melawan tank T-80 Rusia yang selama ini dipakai saat mencaplok Crimea pada 2014 lalu.
Namun, Leighton khawatir bantuan militer apa pun ke Ukraina saat ini "tidak diragukan lagi berisiko meningkatkan ketegangan lebih lanjut" dengan Moskow.
Juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki, mengatakan bahwa AS prihatin atas aktivitas militer Rusia yang meningkat di perbatasan dengan Ukraina.
Psaki mengatakan AS terus berkomunikasi dengan sekutu dan mitra di Eropa, termasuk dengan Ukraina untuk memantau situasi terkini.
"AS juga telah mengadakan diskusi dengan pejabat Rusia soal Ukraina dan hubungan AS-Rusia secara umum," kata Psaki.
Kepala Staf Gabungan Militer AS, Jenderal Mark Milley, juga telah berbicara melalui telepon dengan Panglima Angkatan Bersenjata Ukraiana Letnan Jenderal Valery Zaluzhny kemarin.
AS dan Uni Eropa juga disebut tengah berdiskusi soal kemungkinan penjatuhan sanksi terhadap Rusia jika invasi ke Ukraina benar-benar terjasi.
Diskusi tersebut mencerminkan betapa serius pemerintahan Biden dan Kongres AS memprediksi kemungkinan Rusia bergerak menyerang Ukraina untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari satu dekade.
Dan para pejabat AS disebut bertekad untuk tidak terkejut dengan operasi militer Rusia, seperti yang dilakukan pemerintahan Obama pada 2014 ketika Rusia menginvasi Crimea dan memicu pemberontakan di bagian timur Ukraina.
"Kekhawatiran kami adalah bahwa Rusia mungkin membuat kesalahan serius dengan mencoba mengulangi apa yang telah dilakukannya pada tahun 2014, ketika mengumpulkan pasukan di sepanjang perbatasan, menyeberang ke wilayah Ukraina yang berdaulat dan melakukannya dengan mengklaim palsu bahwa itu diprovokasi," ucap Menteri Luar Negeri AS, Antony Kata Blinken, pada pekan lalu.
Badan Intelijen Luar Negeri Rusia (SVR) membantah rencana invasi tersebut. SVR menganggap klaim AS tersebut "benar-benar salah".
"Kementerian Luar Negeri AS melalui saluran diplomatik membawa pesan yang benar-benar salah kepada sekutu dan mitranya di Eropa tentang konsentrasi pasukan Rusia di wilayah negara kami untuk invasi militer ke Ukraina," kata Sergei Ivanov, kepala biro pers SVR. [qnt]