Gedung Putih tetap percaya diri, melalui juru bicara Kush Desai yang menyatakan bahwa Presiden Trump kembali menerapkan kombinasi kebijakan deregulasi, perdagangan adil, dan pemotongan pajak dalam skala lebih besar, sembari menyatakan bahwa “yang terbaik masih akan datang.”
Namun data lapangan tidak menguatkan optimisme tersebut, dengan manufaktur kehilangan 37.000 pekerjaan sejak tarif diterapkan April lalu, dan pertumbuhan lapangan kerja yang merosot hanya 73.000 pada Juli, 14.000 di Juni, dan 19.000 di Mei, jauh di bawah rata-rata 168.000 per bulan tahun lalu.
Baca Juga:
AS Naikkan Tarif Lebih dari 15 Persen ke Puluhan Negara, Gejolak Dagang Kian Memanas
Selain itu, inflasi terus meningkat dengan harga barang dan jasa naik 2,6 persen hingga akhir Juni, dan harga impor seperti furnitur dan mainan melonjak tajam.
Produk Domestik Bruto (PDB) juga melemah, hanya tumbuh di bawah 1,3 persen pada semester pertama tahun ini, jauh dari 2,8 persen tahun lalu, memicu kekhawatiran tentang stagnasi ekonomi.
Analis Guy Berger dari Burning Glass Institute menyebut bahwa meski tingkat pengangguran belum naik, namun laju penciptaan lapangan kerja nyaris terhenti, yang menurutnya merupakan tanda ekonomi stagnan.
Baca Juga:
Tarif Impor Lebih Rendah, Luhut: Vietnam dan Taiwan Incar Relokasi Pabrik ke Indonesia
Ketidakpastian juga muncul dari sikap Trump terhadap The Fed, di mana ia mendukung dua gubernur yang pro penurunan suku bunga, yaitu Christopher Waller dan Michelle Bowman, dengan dalih memperkuat daya beli, meski kebijakan ini berisiko memperburuk inflasi.
Trump juga terus mengubah strategi tarif impornya, menggantikan kebijakan April 2025 yang sempat memicu kekacauan di pasar saham dengan aturan baru yang lebih luas.
Beberapa analis melihat pola ini bukan sekadar penyesuaian kebijakan, melainkan sinyal ketidakpastian ekonomi yang serius di tengah kepemimpinannya.