WahanaNews.co, Washington DC - Sebuah pemeriksaan diam-diam oleh pengawas terhadap rencana pengadaan jangka panjang Pentagon untuk jet tempur F-35 mengungkapkan informasi terbaru yang mengejutkan.
Pesawat tempur militer Amerika Serikat (AS) tersebut ternyata hanya mampu menjalankan lebih dari setengah dari jumlah misi yang telah ditargetkan karena masalah pemeliharaan.
Baca Juga:
Israel-Iran di Ambang Perang, AS kirim Jet Tempur F-22 ke Timur Tengah
Temuan terbaru ini, yang terdokumentasikan dalam laporan yang dikeluarkan oleh Kantor Akuntabilitas Pemerintah (GAO) pada hari Kamis waktu setempat, muncul hanya beberapa hari setelah insiden jatuhnya pesawat tempur F-35B Lightning II Joint Strike Fighter di Carolina Selatan selama sesi latihan.
Insiden tersebut menyebabkan pengumuman dari Korps Marinir AS untuk menghentikan semua penerbangan selama dua hari karena masalah keselamatan.
Dalam laporan GAO, mereka mencatat bahwa jet tempur F-35, yang merupakan pesawat generasi kelima yang sangat canggih, kini menjadi bagian yang semakin penting dalam armada taktis Pentagon.
Baca Juga:
KBRI Korea Selatan: Dua WNI Terlibat Kasus Jet Tempur KF-21 Boramae
Namun, laporan tersebut juga menunjukkan bahwa program F-35 yang mahal ini mengalami kendala akibat masalah pemeliharaan, dan strategi pemeliharaan pesawat di masa depan perlu dievaluasi, seperti yang telah disampaikan kepada anggota parlemen.
“Tantangan pemeliharaan berdampak negatif terhadap kesiapan pesawat F-35,” bunyi laporan GAO.
“Tingkat kemampuan misi armada F-35 – persentase waktu pesawat dapat melakukan salah satu misi yang ditugaskan – adalah sekitar 55 persen pada Maret 2023, jauh di bawah sasaran program,” sambung laporan itu seperti dikutip dari Insider, Jumat (22/9/2023).
Tingkat kemampuan misi ditujukan untuk pesawat yang dimiliki oleh satu skuadron.
GAO menemukan program ini terlambat dari jadwal dalam menetapkan kegiatan pemeliharaan depot untuk melakukan perbaikan dan akibatnya, waktu perbaikan komponen tetap lambat dengan lebih dari 10.000 menunggu untuk diperbaiki – di atas tingkat yang diinginkan.
"Pada saat yang sama, organisasi- pemeliharaan tingkat ini telah dipengaruhi oleh sejumlah masalah, termasuk kurangnya data teknis dan pelatihan," bunyi laporan itu.
Dalam laporan mereka, GAO mencatat beberapa masalah khusus, termasuk ketergantungan yang tinggi pemerintah AS pada kontraktor, yang pada akhirnya membatasi kemampuan mereka dalam membuat keputusan. Masalah lainnya adalah kurangnya pelatihan terkait pemeliharaan.
Selain itu, kekurangan suku cadang, peralatan pendukung, dan data teknis juga dapat menyebabkan penundaan dalam pemeliharaan fasilitas militer.
"Ada juga penundaan dalam menyiapkan fasilitas layanan yang diperlukan untuk penanganan perbaikan yang kompleks," ungkap GAO.
Dalam usahanya untuk memperbaiki situasi ini, GAO menyatakan bahwa mereka telah memberikan beberapa rekomendasi kepada Pentagon.
Rekomendasi-rekomendasi tersebut meliputi peninjauan kembali elemen-elemen keberlanjutan F-35 untuk menentukan tanggung jawab pemerintah dan kontraktor, serta data teknis yang diperlukan, dan untuk membuat keputusan akhir mengenai perubahan dalam keberlanjutan F-35 untuk mengatasi masalah kinerja dan biaya.
Diketahui bahwa Pentagon telah menyetujui rekomendasi-rekomendasi yang diajukan oleh GAO.
Militer AS saat ini menyediakan sekitar 450 unit jet tempur siluman F-35, dan Pentagon berencana untuk membeli sekitar 2.500 unit lagi sebagai bagian dari program selama puluhan tahun dengan perkiraan biaya siklus hidup lebih dari USD1,7 triliun.
GAO mengatakan sebagian besar dana ini akan digunakan untuk pengoperasian, pemeliharaan, dan perbaikan jet tempur.
Terdapat tiga varian jet tempur F-35 buatan Lockheed Martin. F-35A digunakan oleh Angkatan Udara dan memberikan kemampuan melebihi apa yang dapat diberikan oleh jet tempur F-16 dan A-10 yang sudah tua, sedangkan jet tempur F-35C mewakili peningkatan dibandingkan pesawat tempur berbasis kapal induk Angkatan Laut lainnya seperti F/A-18.
F-35B merupakan varian pesawat tempur yang memiliki kemampuan lepas landas pendek dan pendaratan vertikal, yang dapat digunakan oleh Korps Marinir di kapal serbu amfibi dan lapangan udara yang lebih kecil.
Varian ini, yang memiliki nilai sekitar USD100 juta, menjadi berita utama pada awal pekan ini ketika seorang pilot Korps Marinir terpaksa melakukan lompatan darurat dari pesawat tempur tersebut karena kerusakan yang terjadi selama misi pelatihan pada hari Minggu di Carolina Selatan.
Meskipun identitas pilot yang terlibat tidak diketahui, ia berhasil keluar dari pesawat dengan selamat dan mendarat menggunakan parasut di halaman belakang perumahan. Namun, kondisi pesawat tersebut masih belum jelas, sehingga militer meminta bantuan masyarakat dalam pencariannya.
Pejabat militer mengumumkan bahwa puing-puing dari pesawat tersebut telah ditemukan keesokan harinya. Seiring dengan insiden ini, Korps Marinir mengumumkan penangguhan selama dua hari untuk semua penerbangan, mengacu pada serangkaian kecelakaan penerbangan yang telah terjadi dalam beberapa minggu terakhir.
Selain kecelakaan jet tempur F-35, kejadian tersebut juga melibatkan dua kecelakaan terpisah yang melibatkan jet tempur F/A-18 dan MV-22B Osprey, yang menyebabkan empat Marinir tewas dan lebih dari 20 lainnya terluka.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]