WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pengungkapan mengejutkan kembali mengguncang dunia internasional.
Di tengah derita rakyat Palestina yang kelaparan dan kehilangan tempat tinggal, laporan terbaru dari surat kabar Haaretz menyibak praktik bisnis berdarah di Jalur Gaza yang melibatkan militer Israel dan kontraktor swasta.
Baca Juga:
Hampir 600 Warga Gaza Tewas Saat Antre Bantuan, Israel Akui Salah
Rumah demi rumah dihancurkan, dan setiap puing nyatanya dihargai dengan nilai tukar nyawa.
Sebuah laporan investigatif yang diterbitkan Haaretz mengungkap bahwa kontraktor swasta yang disewa oleh militer Israel dibayar sebesar 5.000 shekel (lebih dari Rp24 juta) untuk setiap rumah warga Palestina yang mereka hancurkan di Gaza.
Skema ini mendorong para kontraktor untuk terus melanjutkan penghancuran, tanpa memedulikan dampak terhadap warga sipil yang terjebak di tengah kehancuran.
Baca Juga:
Blokade Gila Israel Bunuh 66 Anak Gaza, Dunia Internasional Bungkam
"Setiap kontraktor swasta yang bekerja di Gaza dengan peralatan teknik memperoleh 5.000 shekel untuk setiap rumah yang mereka hancurkan. Mereka menghasilkan banyak uang," kata seorang tentara Israel yang kini bertugas di Gaza.
Laporan tersebut menyatakan bahwa sistem penghargaan ini bahkan membuat tindakan kekerasan terhadap warga sipil, termasuk mereka yang tengah mencari bantuan makanan, dianggap sebagai hal yang "dapat diterima" demi melancarkan operasi penghancuran dan menjaga aliran keuntungan.
Seorang prajurit Israel mengungkapkan bahwa setiap kali para kontraktor tidak menghancurkan rumah, maka itu dianggap sebagai kerugian finansial.
Untuk itu, militer disebut berupaya menjaga agar mereka terus bekerja.
Dalam praktiknya, para kontraktor disebut kerap membawa unit keamanan kecil hingga ke wilayah yang sangat dekat dengan titik-titik distribusi bantuan kemanusiaan, lokasi yang kerap dipenuhi warga Gaza yang kelaparan dan sangat membutuhkan makanan.
Ketika kehadiran warga dianggap mengganggu operasi mereka, para kontraktor diduga sengaja memicu insiden keamanan demi memperoleh perlindungan tambahan dari militer Israel. Perlindungan ini acap kali berarti satu hal: rentetan tembakan ke arah warga sipil.
Haaretz menyimpulkan dengan pernyataan mencengangkan: "Agar seorang kontraktor dapat memperoleh tambahan 5.000 shekel, diambil keputusan bahwa membunuh orang Palestina yang mencari makanan adalah hal yang dapat diterima."
Tak hanya itu, laporan juga mengungkap bahwa sejumlah perwira dan tentara Israel mengaku mendapat perintah untuk menembaki kerumunan warga sipil tak bersenjata di zona distribusi bantuan, meskipun warga tersebut tak menimbulkan ancaman.
Para prajurit menggambarkan kekejaman yang terjadi di lapangan: "Itu adalah medan pembantaian... di tempat saya, antara satu hingga lima orang terbunuh setiap hari," ungkap salah satu tentara Israel.
"Mereka menembaki mereka seolah-olah mereka adalah pasukan penyerang: mereka tidak menggunakan alat pengendali kerusuhan, mereka tidak menembakkan gas air mata, mereka menembakkan apa pun yang dapat Anda pikirkan, senapan mesin berat, peluncur granat, mortir," imbuhnya.
"Kami berkomunikasi dengan mereka melalui tembakan," lanjutnya.
Kementerian Kesehatan Gaza mencatat, sejak titik-titik distribusi bantuan mulai beroperasi pada akhir Mei, sebanyak 549 warga Palestina telah tewas di dekat lokasi-lokasi tersebut.
Ironisnya, di tengah laporan kekejaman ini, pemerintah Amerika Serikat justru baru menyetujui pendanaan sebesar 30 juta dolar AS untuk Gaza Humanitarian Foundation (GHF), lembaga bantuan yang didukung Israel dan bertanggung jawab atas distribusi bantuan.
Padahal, para pengacara hak asasi manusia telah memperingatkan bahwa staf GHF dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas potensi keterlibatan mereka dalam kejahatan perang.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]