Ia memperkirakan puluhan ribu tentara harus dikerahkan untuk merebut, mengamankan, dan mempertahankan wilayah sekitar pangkalan dari ancaman serangan roket.
“Bahkan setelah pasukan AS menguasai Bagram, menjaga perimeter yang luas agar tidak dimanfaatkan untuk meluncurkan serangan adalah tantangan besar. Saya tidak melihat bagaimana ini bisa terjadi secara realistis,” lanjutnya.
Baca Juga:
Kasus Dugaan Udang RI Kena Radioaktif, Negosiasi Tarif Trump Terganggu?
Ancaman terhadap pangkalan itu tidak hanya datang dari dalam Afghanistan, sebab kelompok militan seperti ISIS dan al Qaeda diperkirakan akan kembali menargetkan kehadiran militer AS, sementara risiko serangan rudal dari Iran juga nyata setelah Teheran pernah menghantam pangkalan besar AS di Qatar pada Juni lalu sebagai balasan atas serangan ke fasilitas nuklirnya.
Seorang mantan pejabat senior pertahanan AS bahkan meragukan nilai strategis Bagram, dengan mengatakan, “Saya tidak melihat keuntungan militer signifikan berada di sana. Risiko jauh lebih besar daripada manfaat.”
Trump juga menjadikan isu Bagram sebagai amunisi politik dengan menyalahkan Presiden Joe Biden karena disebutnya telah “menyerahkan” pangkalan itu, meski faktanya perjanjian yang ditandatangani Trump dengan Taliban pada Februari 2020 sudah mengharuskan penarikan seluruh pasukan internasional dari Afghanistan.
Baca Juga:
Trump Umumkan Nasib Ukraina, Tak Akan Bergabung di NATO
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.