Agenda MFP yang sukses menarik perhatian para pemilih muda, juga berjanji mengupayakan reformasi, untuk mengurangi pengaruh militer dalam dunia politik Thailand.
Sejauh ini, pemerintah militer telah melakukan selusin kudeta sejak Thailand menjadi negara monarki konstitusional pada tahun 1932 silam. Militer Thailand juga melakukan monopoli bisnis besar-besaran
Baca Juga:
Petinggi Negara Terburon di ICC: Daftar yang Mengejutkan dan Kontroversial
Kini, Pita membutuhkan lebih banyak suara. Pada Senin (17/07), Pita mengatakan bahwa dia akan mencoba kembali mencalonkan diri sebagai PM Thailand di putaran kedua.
Namun, dia menyatakan kalau dirinya akan mengizinkan seorang kandidat dari partai koalisinya untuk mencalonkan diri jika dirinya kembali gagal mengumpulkan suara dukungan. Calon lain yang dimaksud Pita itu kemungkinan besar berasal dari partai Pheu Thai.
Partai tersebut meraup 141 kursi dalam pemilu, yakni 10 kursi lebih sedikit dari 151 kursi yang diraih MFP pimpinan Pita. Koalisi delapan partai tersebut berhasil mengumpulkan total 312 kursi di DPR Thailand, dengan mayoritas anggota parlemen terpilih.
Baca Juga:
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong Resmi Mundur, Transisi Kekuasaan Dimulai
Meski demikian, perdana menteri baru Thailand membutuhkan setengah dari pemungutan suara gabungan dari total 740 anggota parlemen dan senat. Koalisi delapan partai tersebut hanya mampu mengumpulkan 324 suara minggu lalu, jauh di bawah minimal 376 suara yang dibutuhkan.
Pita adalah satu-satunya kandidat MFP, sementara Pheu Thai mendaftarkan tiga nama, yakni Srettha Thavisin; Paetongtarn Shinawatra, putri mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yang digulingkan oleh kudeta militer tahun 2006; dan Chaikasem Nitsiri, seorang ahli strategi utama partai.
Paetongtarn disebut-sebut sebagai prospek utama partai Pheu Thai selama kampanye pemilu kemarin. Tetapi, Srettha justru muncul sebagai kandidat favorit.