Oleh HASAN SADELI
Baca Juga:
Kerap Diserang Israel, PBB Sebut Argentina Jadi Negara Pertama Tarik Pasukan dari UNIFIL
VANUATU merupakan negara di Pasifik Selatan yang tidak pernah menyerah menyudutkan Indonesia dalam berbagai forum internasional. Baik dalam sidang umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) maupun dalam forum khusus tentang HAM di PBB.
Vanuatu selalu menuduh Indonesia yang dianggapnya melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.
Baca Juga:
RI-AS Kecam Kekerasan Terhadap Warga Sipil yang Berlanjut di Myanmar
Tidak terhitung berapa kali Vanuatu melayangkan tuduhan semacam itu.
Bahkan bila mundur ke belakang, beberapa negara Pasifik Selatan kerap menyebut Indonesia sebagai negara penjajah yang segala tindakannya diasosiasikan sebagai politik ekspansionis.
Karenanya, sejak dasawarsa 1970an mereka senantiasa melihat Indonesia sebagai ancaman.
Namun belakangan, di saat hampir mayoritas negara di Pasifik Selatan tidak lagi bersikap agresif terhadap Indonesia, Vanuatu justru menjadi satu-satunya negara di Pasifik Selatan yang tidak pernah absen untuk memprovokasi dunia internasional dengan melayangkan berbagai tuduhan terhadap Indonesia.
Vanuatu seolah memposisikan diri secara sepihak dengan mendeklarasikan diri sebagai penyambung aspirasi masyarakat Papua, dan menutup mata terhadap agresivitas kelompok separatis di Papua.
Vanuatu selalu bersikap kontraproduktif dan mengabaikan sikap bersahabat sebagaimana yang selalu ditunjukan oleh Indonesia.
Vanuatu juga melupakan berbagai upaya yang telah dilakukan Indonesia untuk menjalin hubungan diplomatik yang erat dengan Vanuatu, dan sejumlah negara lain di Pasifik Selatan.
Membangun Hubungan Diplomatik
Koran Kompas edisi 25 Mei tahun 1984 menuliskan bahwa Indonesia telah mulai merintis pengembangan hubungan diplomatik dengan beberapa negara Pasifik Selatan, seperti Fiji (1974), Papua Nugini (1975), dan Samoa Barat (1980).
Namun, kegiatan diplomatik Indonesia saat itu masih dirangkap dari perwakilan Indonesia di Australia atau Selandia Baru.
Selanjutnya pada tahun 1983, Indonesia secara intensif mulai meningkatkan kerjasama di berbagai bidang.
Hal ini ditandai dengan rangkaian kunjungan yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmaja, ke berbagai negara di kawasan Pasifik Selatan.
Dalam kesempatan itu, Indonesia berupaya melakukan kerjasama bidang kebudayaan dengan negara-negara di Pasifik Selatan.
Selain itu Indonesia juga menginisiasi suatu program bernama Kerjasama Teknik Negara-negara Berkembang (KTNB).
Adanya kerjasama tersebut diharapkan menumbuhkan suatu sikap saling menghormati (mutual respect) dan saling percaya antara negara-negara di Pasifik Selatan terhadap Indonesia.
Kebijakan politik luar negeri Indonesia dengan negara-negara di Pasifik Selatan yang dibangun ketika dasawarsa 80-an, antara lain memang dimaksudkan untuk meminimalisasi kecaman negara-negara di kawasan tersebut.
Apalagi setelah Vanuatu berkali-kali menunjukan sikap anti-Indonesia dan menuntut sebuah negara Papua Merdeka.
Karena itu, kerjasama yang erat diperlukan mengingat beberapa negara di Kawasan Pasifik Selatan memiliki kesamaan etnologi, utamanya dengan penduduk yang berada di wilayah Timur Indonesia.
Karena kawasan ini terbagi kedalam 3 wilayah budaya, yakni Mikronesia, Polinesia, dan Melanesia.
Untuk kawasan budaya Melanesia, entitas politik yang ada di dalamnya yaitu Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan Kaledonia Baru.
Negara-negara dari rumpun ini secara etnologi memiliki kesamaan dengan penduduk di wilayah timur Indonesia, khususnya Papua.
Di masa lalu, negara-negara tersebut pernah menyuarakan gerakan bernama Persaudaraan Melanesia, mereka menyoroti dan mengangkat setiap persoalan yang terjadi di Papua.
Dalam kurun waktu tertentu, isu etnologi menguat dan berkembang menjadi isu kawasan di Pasifik Selatan.
Isu semacam ini sebenarnya tidak berdiri sendiri.
Asal usulnya bisa dilacak dari watak kolonial Belanda.
Hal itu sedemikian tercermin dalam lamanya proses intergrasi Papua dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
Belanda menyatakan bahwa secara etnologis orang Irian tidak termasuk orang Indonesia, sementara Indonesia berpegang pada Perjanjian Linggarjati yang menetapkan Negara Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat mencakup seluruh bekas Hindia Belanda.
Bagaimanapun, Papua merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia karena persamaan historis, nasib, serta keinginan untuk hidup bersama.
Vanuatu perlu diingatkan untuk membaca rentang sejarah panjang Indonesia yang mencakup Papua di dalamnya.
Tinjauan etnologis tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya faktor pengikat suatu negara-bangsa.
Dan memang tidak ada satu pun negara bangsa di dunia ini yang benar-benar homogen.
Segala upaya yang telah dilakukan Indonesia dalam membangun negara kuat dan penuh toleransi di tengah kemajemukan memang penuh tantangan.
Dan pemerintah Indonesia tidak pernah melakukan dikotomi terhadap keberadaan berbagai suku, agama, maupun ras.
Sayangnya, masih ada saja negara yang bersikap sentimen terhadap prinsip-prinsip kebinekaan dan persatuan yang selalu dijunjung Indonesia.
Vanuatu adalah proyeksi dari negara yang diliputi persangkaan negatif yang akut terhadap Indonesia.
Sikapnya selalu tidak bersahabat.
Sejauh ini Indonesia nampak terlalu sabar menanggapi tuduhan keji dari Vanuatu di saat aparat, tenaga kesehatan, dan tenaga pendidik dibunuh dan diburu oleh kelompok bersenjata di Papua. (Hasan Sadeli, Pemerhati Sejarah dan Kemaritiman, Lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Vanuatu dan Sentimen Anti-Indonesia". Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2021/10/03/08000011/vanuatu-dan-sentimen-anti-indonesia.