WahanaNews.co | Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Republik Indonesia memberikan
klarifikasi terkait keputusan yang diambil perwakilan RI dalam Sidang Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 18 Mei lalu.
Di dalam hasil pemungutan suara,
perwakilan RI memutuskan untuk bersikap tidak atau NO, terkait pembahasan
agenda sidang, yakni laporan rutin dan tahunan (R2P)
serta mengadopsi rancangan resolusi baru yang disampaikan oleh Sekretariat
Jenderal PBB.
Baca Juga:
Mayoritas Server di Luar Negeri, Kominfo Kesulitan Tindak Judi Online
Isi laporan yang dibahas adalah soal
pencegahan genosida, kejahatan perang, pemusnahan etnis, dan
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Menurut keterangan Juru Bicara
Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, agenda rancangan resolusi itu
membahas pembentukan mata agenda baru tahunan Sidang Majelis Umum PBB tentang
R2P.
Kemudian, sidang
juga membahas permintaan Sekjen PBB untuk menyampaikan laporan tahunan tentang
R2P di sidang umum.
Baca Juga:
Longsor Terjadi di Papua Nugini, Kemenlu Pastikan Tak Ada WNI Jadi Korban
Prosesnya dilakukan secara voting dan dimintakan oleh beberapa
negara.
"Intinya, Indonesia
menolak pembentukan mata agenda baru dengan pertimbangan tidak perlu membentuk
mata agenda baru, karena selama ini pembahasan R2P di UNGA (Majelis Umum PBB)
sudah berjalan dan penyusunan laporan Sekjen selalu dapat dilaksanakan,"
kata Faizasyah, saat dihubungi wartawan, Kamis (20/5/2021).
"Pembahasan R2P oleh Sidang
Majelis Umum PBB selalu dapat dilaksanakan dan sudah ada mata agendanya, yaitu follow up to outcome
of millenium summit," lanjut Faizasyah.
Selain itu, Faizasyah mengatakan, konsep R2P juga sudah jelas tertulis di Resolusi 60/1 (2005 World Summit Outcome Document), paragraf
138 sampai 139.
"Posisi voting Indonesia adalah terkait rancangan resolusi dimaksud
(prosedural), bukan terhadap gagasan R2P. Posisi
Indonesia masih sama hingga kini, yaitu selalu aktif terlibat dalam pembahasan
R2P semenjak 2005 hingga kini," ujar Faizasyah.
Faizasyah mengatakan, Indonesia akan terus aktif dalam pembahasan R2P, terlepas dari
posisi voting Indonesia.
Selain Indonesia, sejumlah negara juga
menyatakan menolak agenda pembahasan sidang itu.
Mereka adalah Korea Utara, Kyrgyzstan,
Nikaragua, Zimbabwe, Venezuela, Burundi, Belarus, Eritrea, Bolivia, Rusia,
China, Mesir, Kuba, dan Suriah.
Keputusan sejumlah negara itu dikritik
oleh lembaga nirlaba yang memantau PBB, UN
Watch. [qnt]