Apa yang selama ini didengungkan oleh pemerintah, tidak pernah dijalankan di lapangan, pada akhirnya selalu Organisasi Profesi yang selalu berada di garis depan melindungi anggotanya.
Misalnya saja, kekerasan terhadap dokter internship yang terjadi di Lampung baru-baru ini, dan yang beberapa waktu lalu terjadi terhadap Prof dr Zaenal Mutaqqin, PhD, SpBS(K), dokter spesialis bedah saraf dengan keahlian langka, namun karena sikap kritisnya ternyata dapat dihentikan kontrak kerjanya di RS Karyadi Semarang.
Baca Juga:
Pembunuhan Berencana di Muaro Jambi, Pelaku Terancam Hukuman Mati
“Kalau terhadap seorang guru besar dan dokter spesialis konsultan dengan reputasi internasional dapat diperlakukan demikian, bagaimana dengan tenaga kesehatan yang lebih lemah posisinya. Ternyata pada RUU Kesehatan tidak melindungi tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam mendapatkan kepastian dalam menjalankan pekerjaan profesinya,” tegas dr Mahesa Paranadipa Maikel, MH, Wakil Ketua II, PB IDI.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi sistem kesehatan Indonesia adalah akses terhadap perawatan.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hanya 38 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap layanan kesehatan dasar.
Baca Juga:
Pasca Pemblokiran Jalan, Polsek Mandiangin Bersama Personil Brimob Patroli Gabungan
Hal ini sebagian disebabkan kurangnya infrastruktur dan sumber daya di daerah pedesaan, di mana banyak orang Indonesia tinggal.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada perluasan fasilitas dan layanan kesehatan di daerah-daerah tersebut, serta peningkatan pembiayaan untuk kesehatan.
“Banyak tenaga kesehatan yang bersedia bertugas di tempat-tempat terpencil, namun tidak dapat bekerja secara maksimal karena minimnya sarana baik fasilitas kesehatan maupun akses menuju faskes yang tidak diperhatikan oleh pemerintah. Belum lagi masih tidak jaminan perlindungan dan keselamatan para tenaga kesehatan saat bertugas dari pemerintah setempat dan pusat,” kata DR Ade Jubaedah, Sekjen Ikatan Bidan Indonesia (IBI).