WahanaNews.co | Hampir dua tahun ini pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dan Kementerian Kesehatan terus mengingatkan masyarakat akan bahaya Covid-19 dan gejala klinisnya.
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito mengatakan, gejala klinis Covid-19 dibagi menjadi dua. Pertama, kasus bergejala. Kedua, kasus tanpa gejala (asimtomatik) atau OTG.
Baca Juga:
Komisi Kesehatan China (NHC) Hentikan Publikasi Data Harian Kasus Covid-19
Pada kasus tanpa gejala, seseorang yang terkonfirmasi positif Covid-19 masih mampu menularkan virus kepada orang lain.
"Hal ini berarti, orang yang tampak sehat-sehat saja, belum tentu terbebas dari infeksi Covid-19," katanya dikutip dari covid19.go.id, Jumat (11/2).
Menurutnya, terdapat kecenderungan sikap kehati-hatian yang lebih rendah pada kasus tidak bergejala daripada bergejala. Karena orang yang tampak sakit akan cenderung mengisolasikan dirinya.
Baca Juga:
Tengkuk Leher Terasa Berat dan Pegal, Benarkah Ciri-ciri Darah Tinggi?
Jika merujuk pada hasil penelitian, secara global jumlah kasus positif tanpa gejala lebih sedikit persentasenya daripada bergejala. Hal ini berdasarkan temuan dari Bymbasuren dkk serta Garcia dkk di tahun 2020.
Selain itu, mayoritas ahli sepakat, kasus dengan gejala yang jelas masih lebih infeksius atau menular dibandingkan kasus tanpa gejala. Studi lainnya menunjukkan peluang terpapar pada kontak erat kasus positif tanpa gejala akan menjadi 3 sampai 25 persen lebih rendah daripada kontak erat bergejala.
Hal ini disebabkan gejala seperti batuk dan bersin dapat memperbesar peluang penularan dibanding pada orang yang tidak batuk atau bersin. Walau begitu, lebih sedikit dan lebih tidak menular dibandingkan kasus bergejala.
"Jika tidak diantisipasi dengan baik maka risiko ini akan menimbulkan kenaikan kasus secara signifikan," lanjutnya.
Dari delapan studi lainnya di China, orang tanpa gejala dapat menyumbangkan sekitar 24 persen dari keseluruhan penularan yang terjadi di populasi. Sementara saat ini, teknologi belum dapat mengukur secara pasti kemampuan orang positif, termasuk orang tanpa gejala, untuk menulari orang lain.
Bahkan dengan metode testing seperti PCR yang dapat mengukur CT Value sendiri, hanya mengukur jumlah virus dalam tubuh seseorang, bukan jumlah virus yang mampu ditularkan dari orang tersebut ke orang lainnya.
Berdasarkan fakta ini, Wiku mengingatkan sikap paling bijak yang dapat dilakukan bersama adalah menerapkan protokol kesehatan 3M secara menyeluruh baik untuk orang sehat maupun sakit.
Strategi lainnya, mengantisipasi keberadaan kasus tanpa gejala yaitu dengan meningkatkan rasio kontak erat atau jumlah orang yang diidentifikasi sebagai suspek kasus.
Perlu dipertimbangkan juga ambang waktu yang tepat dan metode testing yang lebih akurat untuk melakukan testing sejak pertama kali terpapar untuk menjamin hasil tes yang keluar benar-benar akurat. Kemudian, melakukan surveilans aktif khususnya pada tempat-tempat yang berisiko tinggi terjadi penularan atau hotspot penularan seperti rumah sakit, kantor, maupun sekolah.
Serta memprioritaskan percepatan vaksinasi pada kelompok rentan seperti lansia, penderita komorbid, dan orang yang belum divaksinasi sama sekali atau dosis penuh untuk mencegah risiko kematian yang tinggi. [qnt]