Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Owen Jenkins, menyebutkan bahwa AMR adalah ancaman seperti bom waktu yang akan membawa bencana jika dunia tidak segera bertindak.
Berdasarkan informasi dari laman resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), penyebab utama resistensi antimikroba di sektor kesehatan antara lain penggunaan obat tanpa indikasi yang tepat, pemilihan obat yang tidak sesuai, serta dosis yang tidak benar.
Baca Juga:
Babak Baru Kasus Penembakan Bos Rental Mobil, 3 Prajurit TNI Mengaku Dikeroyok
Selain itu, dengan meningkatnya perdagangan dan perjalanan internasional, mikroorganisme resisten dapat menyebar lebih cepat, membuat tidak ada negara yang benar-benar aman dari ancaman ini.
Bahaya resistensi antimikroba juga erat kaitannya dengan berbagai sektor, termasuk kesehatan masyarakat, rantai makanan, peternakan, dan lingkungan.
Dalam konteks ini, kerja sama global menjadi krusial untuk mengendalikan ancaman tersebut.
Baca Juga:
Kasus PAW Kian Panas, KPK Bongkar Bukti Baru di Rumah Hasto Kristiyanto
Inggris, misalnya, telah menjadikan penanganan AMR sebagai prioritas kesehatan global dengan mengalokasikan Rp 5,1 triliun melalui Dana Fleming untuk mendukung berbagai program, termasuk di Indonesia.
Meskipun sejumlah negara telah mengembangkan Rencana Aksi Nasional untuk mengatasi resistensi antimikroba, banyak tantangan yang dihadapi, seperti kurangnya penegakan regulasi, kekurangan ahli epidemiologi, serta lemahnya implementasi kebijakan.
Di Asia Tenggara, laporan The Lancet mencatat tingkat AMR yang sangat tinggi, dengan patogen utama seperti E. coli (17.700 kematian), K. pneumonia (15.200 kematian), A. baumannii (13.700 kematian), S. aureus (13.000 kematian), dan S. pneumoniae (8.070 kematian) pada tahun 2019.