Resistensi ini tidak hanya membahayakan pasien tetapi juga mengancam sistem kesehatan secara keseluruhan. Prosedur medis yang selama ini dianggap rutin, seperti operasi, persalinan, atau pengobatan kanker, menjadi lebih berisiko karena potensi infeksi yang tidak dapat diobati.
Situasi ini diperparah oleh meningkatnya penggunaan antibiotik selama pandemi COVID-19, yang berkontribusi pada lonjakan resistensi antimikroba.
Baca Juga:
Babak Baru Kasus Penembakan Bos Rental Mobil, 3 Prajurit TNI Mengaku Dikeroyok
Profesor Chris Murray, Direktur Institut Metrik dan Evaluasi Kesehatan, menyatakan bahwa meskipun inovasi dalam pengembangan obat dan vaksin telah berlangsung, kemajuan tersebut belum cukup cepat untuk mengatasi ancaman AMR.
Sebagai contoh, hanya terdapat 15 antibiotik baru yang disetujui antara tahun 2000 hingga 2018, jauh lebih sedikit dibandingkan periode 1980-2000 yang mencapai 63 antibiotik baru.
Dari tujuh bakteri resisten obat yang paling mematikan, hanya Streptococcus pneumoniae dan Mycobacterium tuberculosis yang memiliki vaksin.
Baca Juga:
Kasus PAW Kian Panas, KPK Bongkar Bukti Baru di Rumah Hasto Kristiyanto
Dalam pandangannya, dunia harus segera memanfaatkan data dan estimasi yang ada untuk mendorong inovasi, mengembangkan vaksin serta terapi baru, dan memperbaiki kebijakan agar ancaman resistensi antimikroba dapat dikendalikan sebelum menyebabkan kematian yang lebih besar di masa depan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.