WahanaNews.co | Tercatat, UU 17/2023 diteken Presiden Joko Widodo Selasa (8/8/2023) dan diundangkan pada tangggal yang sama. Regulasi yang mendapat penolakan dari berbagai kalangan mulai dari kalangan tenaga medis, kesehatan, dokter, serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil lainnya berisi 458 pasal, dan 20 bab. Pada bab terakhir mengatur tentang penutup yang memuat 6 pasal yakni 453-458.
Kali ini datang dari kalangan Advokat Johan Imanuel, Advokat dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan yang membahas beberapa poin penting yang harus dipahami oleh pelaku hubungan industrial, terkait perlindungan pekerja khususnya apabila terjadi Penyakit Akibat Kerja.
Baca Juga:
Industri Kreatif Resah Soal Rencana Larangan Total Iklan Rokok
Pada UU Kesehatan Pasal 100 ayat 3 disebutkan, "Pemberi Kerja wajib menanggung biaya atas penyakit akibat kerja, gangguan kesehatan, dan cedera akibat kerja yang diderita oleh pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
"Nah ini kan perlu dipertegas penyakit akibat kerja apa saja jenisnya jangan sampai tidak ada acuannya bagi pemberi kerja,” kata Johan kepada WahanaNews.co, Senin (14/8/2023) melalui pesan tertulis.
"Saya juga berharap Menteri Tenaga Kerja mengatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang Jenis Penyakit Akibat Kerja apa saja," sambung Johan
Baca Juga:
APTI Minta Kemenkes Terapkan Prinsip Keadilan Terkait Turunan UU Kesehatan
Tidak hanya itu, Johan juga mengingatkan bahwa sudah saatnya pengaturan perlindungan penyakit akibat kerja menjadi mutlak diatur pada bagian dari hak dan kewajiban pemberi kerja dan pekerja pada Perjanjian Kerja/Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama.
"Nah dalam Permenaker tersebut nantinya perlu juga ditegaskan hak dan kewajiban terkait perlindungan penyakit akibat kerja wajib diatur dalam Perjanjian Kerja/Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama agar bisa diterapkan," kata Johan.
"Meskipun saat ini sudah diwajibkan semua pemberi kerja mengikutsertakan pekerja dalam program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan namun jika ada penyakit akibat kerja yang ternyata tidak dilindungi dalam program BPJS ini bagaimana kan kalau tidak diatur , bisa-bisa merugikan pihak pelaku hubungan industrial," sambung Johan.
Oleh karenanya, Ia berharap nantinya Permenaker yang mengatur jenis penyakit akibat kerja tersebut menjadi acuan bagi pemberi kerja dan pekerja agar tidak ada perbedaan pendapat di kemudian hari.
"Pada prinsipnya tujuan hukum itu kan dibuat untuk memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian sehingga untuk mengakomodir tujuan hukum tersebut maka harus dibuat aturan yang jelas dan mengikat," tutur Johan.
[Red: Amanda Zubehor]