WAHANANEWS.CO, Jakarta - Seorang pria asal Simalungun, Sumatera Utara, bernama Fourten Ary Admaja Sinaga (28), tengah berjuang melawan kanker rektum stadium 3B. Penyakit ini pertama kali terdeteksi pada tahun 2020, saat usianya masih 23 tahun.
Desika Sitorus, istri Ary, mengungkapkan bahwa awalnya sang suami mengalami gangguan buang air besar, di mana feses yang keluar sangat sedikit dan disertai darah serta cairan kuning.
Baca Juga:
Resistensi Antimikroba, Ancaman Mematikan yang Mengalahkan HIV dan Malaria
Seiring waktu, berat badan Ary merosot dari 72 kg menjadi hanya 40 kg, meskipun pola makannya tetap normal. Hingga kini, ia masih menjalani serangkaian perawatan, termasuk kemoterapi.
Menanggapi kasus ini, spesialis penyakit dalam konsultan hematologi-onkologi, dr Anisa, menjelaskan bahwa kanker rektum pada usia muda dapat dipicu oleh berbagai faktor, di antaranya faktor genetik, mutasi DNA, pola hidup tidak sehat, serta riwayat keluarga.
Kelainan genetik seperti sindrom Lynch dan mutasi pada gen perbaikan DNA dapat menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak normal.
Baca Juga:
BPOM Peringatkan Bahaya AMR: Dari Evolusi Mikroba ke Ancaman Global
"Jika ada anggota keluarga dekat yang didiagnosis kanker rektum atau kolorektal sebelum usia 50 tahun, maka risiko seseorang untuk mengalaminya juga meningkat," ujar dr Anisa, Sabtu (1/3/2025).
Selain faktor genetik, gaya hidup tidak sehat juga dapat meningkatkan risiko kanker rektum, seperti konsumsi makanan tinggi lemak dan rendah serat, obesitas, kurang aktivitas fisik, merokok, serta konsumsi alkohol berlebihan.
Kanker rektum merupakan jenis kanker yang berkembang di bagian akhir usus besar sebelum anus. Dokter Anisa menjelaskan, kanker ini terjadi akibat pertumbuhan sel abnormal di rektum yang tidak terkendali.
"Kanker rektum sering kali berawal dari polip, yaitu pertumbuhan jaringan abnormal di dinding rektum. Seiring waktu, beberapa polip bisa berubah menjadi kanker," ujar dr. Anisa saat dihubungi, Sabtu (1/3/2025).
Menurutnya, pria memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker rektum dibandingkan wanita. Selain faktor genetik, pola hidup yang tidak sehat juga dapat meningkatkan risiko penyakit ini.
Gejala dan Penyebab
Dr. Anisa mengungkapkan bahwa kanker rektum sering kali berkembang tanpa gejala yang jelas pada tahap awal.
Namun, beberapa tanda yang patut diwaspadai antara lain perubahan pola buang air besar, seperti diare atau sembelit yang berlangsung lama, feses berdarah atau berlendir, serta rasa tidak tuntas setelah buang air besar.
"Nyeri di perut bagian bawah, penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, serta kelelahan yang berkepanjangan juga bisa menjadi indikasi kanker rektum," jelasnya.
Penyakit ini, lanjutnya, dapat disebabkan oleh mutasi genetik yang memicu pertumbuhan sel abnormal di rektum.
"Faktor risiko lainnya meliputi kebiasaan makan tinggi lemak dan rendah serat, obesitas, kurangnya aktivitas fisik, serta konsumsi alkohol dan rokok secara berlebihan," ungkapnya.
Stadium Kanker Rektum
Lebih lanjut, dr. Anisa menjelaskan bahwa kanker rektum dibagi ke dalam beberapa stadium berdasarkan tingkat penyebarannya.
"Pada stadium 2, tumor sudah melewati dinding rektum dan mencapai jaringan di sekitarnya. Di stadium 3, kanker mulai menyerang kelenjar limfa di sekitar rektum. Sedangkan pada stadium 4, kanker telah menyebar ke organ lain, seperti paru-paru atau otak," paparnya.
Pengobatan Kanker Rektum
Terkait pengobatan, dr. Anisa menegaskan bahwa penanganan kanker rektum umumnya dilakukan melalui operasi untuk mengangkat tumor. Namun, perawatan lain seperti kemoterapi dan terapi radiasi juga sering diterapkan.
"Pembedahan adalah pilihan utama, tetapi tergantung pada kondisi pasien, terapi tambahan seperti kemoterapi, radioterapi, terapi tertarget, atau imunoterapi bisa diberikan untuk meningkatkan efektivitas pengobatan," tuturnya.
Dr. Anisa mengungkapkan pentingnya deteksi dini dalam menangani kanker rektum.
"Jika mengalami gejala mencurigakan atau memiliki riwayat keluarga dengan kanker rektum, segera lakukan pemeriksaan medis. Deteksi dini bisa meningkatkan peluang kesembuhan secara signifikan," bebernya.
Awal Mula Gejala
Desika Sitorus mengenang awal mula suaminya didiagnosis menderita kanker rektum. Ia mengungkapkan bahwa hanya dua minggu setelah menikah, Ary mulai mengalami kesulitan saat buang air besar (BAB).
"Awalnya, suami hanya bisa BAB sedikit demi sedikit, disertai darah dan cairan kuning yang menempel di fesesnya. Lama-kelamaan, ia kehilangan kendali hingga harus menggunakan pampers setiap hari, bahkan saat bekerja," ujarnya, dikutip Minggu (2/3/2025).
Tak hanya mengalami gangguan pencernaan, berat badan Ary juga anjlok drastis dari 72 kg menjadi 40 kg, meskipun pola makannya tidak berubah.
Melihat kondisi yang semakin mengkhawatirkan, Desika dan Ary akhirnya memutuskan untuk mencari pengobatan di Rumah Sakit Merauke, Papua.
"Setelah menjalani biopsi dan menunggu hasil selama sebulan, dokter mengonfirmasi bahwa itu adalah tumor ganas di rektum. Karena fasilitas pengobatan di Merauke terbatas, dokter spesialis digestif menyarankan kami untuk mencari pengobatan di rumah sakit yang memiliki RSUP di kota besar," kata Desika.
Mereka akhirnya dirujuk ke Medan, kampung halaman Ary. Pada tahun 2021, pasangan ini pulang ke Tiga Dolok karena kondisi Ary semakin memburuk. Mereka sempat mencoba pengobatan tradisional di kampung, tetapi tidak memberikan hasil yang diharapkan.
Dengan kondisi yang terus memburuk, Ary dilarikan ke IGD Rumah Sakit Harapan, Siantar, lalu dirujuk ke Rumah Sakit Mitra Sejati.
Di sana, ia menjalani operasi besar untuk pembuatan stoma dan biopsi ulang. Setelah sebulan, ia kembali dirujuk ke RSUP Adam Malik, Medan, untuk menjalani kemoterapi.
Ary menjalani delapan siklus kemoterapi dengan interval dua minggu selama enam bulan. Namun, evaluasi menunjukkan bahwa tumor ganas tersebut masih belum bisa diangkat.
Pengobatan pun dilanjutkan dengan regimen kedua selama enam bulan dengan jumlah siklus yang sama, tetapi tetap tidak memberikan hasil yang diharapkan.
Setelah itu, dokter merekomendasikan radioterapi sebanyak 25 kali selama lebih dari satu bulan. Namun, tumor tetap tidak bisa diangkat. Ary pun melanjutkan kemoterapi oral sebanyak 24 siklus, tetapi hasilnya masih belum membaik.
Sebagai langkah lanjutan, Ary menjalani regimen ketiga selama hampir delapan bulan, tetapi tetap tidak ada perkembangan karena tumor mengalami perlekatan.
Dokter kemudian menambahkan 12 siklus kemoterapi lagi, yang sampai saat ini masih terus dijalani.
Pada tahap awal pengobatan, Ary masih bisa bekerja sebagai pengemudi ojek daring di sela-sela jadwal kemoterapi. Namun, memasuki tahun 2024, kondisinya semakin memburuk.
"Di awal 2024, kesehatan suami semakin menurun akibat batu ginjal dan TBC. Saat operasi pada Juli 2024, dokter menemukan bahwa batu ginjalnya telah menyebar hingga ke kandung kemih, dan TBC-nya juga telah mencapai paru-paru. Sejak saat itu, kondisinya terus memburuk, hingga akhirnya ia tak bisa lagi bekerja sebagai ojek daring," ujar Desika.
"Belakangan ini, suami semakin lemah. Hasil CT scan terbaru menunjukkan adanya penyempitan di lambung yang masih perlu diteliti lebih lanjut. Selain itu, terjadi pembengkakan pada ginjal dan hati yang menyebabkan suami kehilangan nafsu makan, sulit berjalan, dan terus merasa kesakitan," sambungnya.
Menurut Desika, kanker rektum yang dialami suaminya kemungkinan besar dipicu oleh faktor genetik. Ayah Ary juga pernah mengidap kanker lambung dan meninggal akibat penyakit tersebut.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]