WAHANANEWS.CO, Jakarta - Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Mabes Polri Brigjen Pol. Nunung Syaifuddin mengatakan bahwa pihaknya tengah menyelidiki izin impor yang dipakai PT Sumber Hidup Chemindo (SHC) terkait dengan kasus transaksi sianida ilegal yang telah dibongkar Polri.
"Kami juga akan melakukan pendalaman terkait dengan perizinan impor. Perizinan impor dan kegiatan importir, yaitu kuota dari importir umum," kata Brigjen Pol. Nunung kepada awak media di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Rabu (14/5/2025).
Baca Juga:
Pakar Hukum Pidana Komentari Soal Pembebasan Bersyarat Jessica Wongso
Brigjen Pol. Nunung mengatakan bahwa penerbitan izin impor itu harus dilakukan lantaran PT SHC bukanlah perusahaan resmi yang dapat menerima sianida dari luar negeri.
Menurut dia, sejauh ini ada dua perusahaan di Indonesia yang tercatat memiliki izin resmi melalukan transaksi sianida impor adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT PPI dan PT Sarinah.
"Jadi, kalaupun toh ada pihak lain yang mengimpor sianida dari luar negeri, harus untuk kepentingan sendiri, yaitu perusahaan yang sudah memiliki izin dari Kementerian Perdagangan," kata Nunung.
Baca Juga:
Terpidana Kopi Sianida Jessica Wongso Bebas Hari Ini, Apa Maksud Bebas Bersyarat?
Sementara itu, yang terjadi, lanjut Nunung, PT SHC melakukan transaksi menggunakan izin dari perusahaan pertambangan yang sudah habis.
Sianida impor itu lalu disalurkan oleh beberapa penerima ataupun supplier (pemasok) yang telah tersebar di beberapa daerah.
"Supplier-nya ini sebagian besar berada di daerah Indonesia timur, khususnya di Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulteng, dan di Kalimantan Tengah," kata Brigjen Pol. Nunung.
Ia mengatakan bahwa pihaknya juga akan menelusuri perusahaan atau pihak-pihak di daerah tersebut yang berperan sebagai penerima sianida ilegal.
Kronologi
Sebelumnya, Brigjen Pol. Nunung saat konferensi pers di Surabaya, Kamis, mengatakan bahwa pengungkapan kasus ini bermula dari informasi mengenai praktik perdagangan ilegal bahan kimia sodium cyanide (sianida) yang dilakukan oleh Direktur PT SHC Steven Sinugroho.
Pada tanggal 11 April 2025, tim melakukan penyelidikan di gudang milik PT SHC di Surabaya. Saat penggeledahan, pihaknya mendapat informasi bahwa akan ada pengiriman 10 kontainer sianida. Namun, karena adanya penggeledahan, pengiriman tersebut dialihkan ke gudang lain di Pasuruan.
Dari hasil pengembangan penyidikan, diketahui bahwa PT SHC menggunakan dua lokasi untuk menyimpan bahan kimia berbahaya tersebut.
Polisi juga telah meminta keterangan sejumlah saksi, termasuk Steven, yang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.
Modus yang digunakan dengan mengimpor sianida dari Tiongkok menggunakan dokumen milik perusahaan tambang emas yang tidak lagi beroperasi. Aktivitas ini sejak sekitar 1 tahun lalu dengan total impor mencapai 494,4 ton atau sekitar 9.888 drum sianida.
"Awalnya digunakan untuk kegiatan produksi internal perusahaan. Namun, kemudian diperjualbelikan tanpa izin resmi," katanya.
Sianida tersebut diduga dijual kepada penambang emas secara ilegal di berbagai wilayah Indonesia.
Dalam distribusinya, drum berisi sianida dikirim tanpa label atau dipindahkan ke wadah lain, termasuk drum milik BUMN PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), guna menghilangkan jejak.
Menurut dia, tersangka disebut punya puluhan pelanggan tetap dengan pengiriman rutin 100 hingga 200 drum per transaksi, dijual dengan harga Rp6 juta per drum.
Dalam penggerebekan, polisi menyita ribuan drum sianida dari berbagai merek dan negara asal, antara lain, sebanyak 1.092 drum putih dan 710 drum hitam dari Hebei Chengxin Co. Ltd., Tiongkok.
Selain itu, juga terdapat ratusan drum tanpa label dan dari merek lain seperti Taekwang Ind. Co. Ltd. Korea dan PT Sarinah.
Diungkapkan bahwa di gudang Pasuruan ditemukan 3.520 drum sianida merek Guangan Chengxin Chemical berwarna telur asin.
Atas perbuatannya, Steven disangkakan melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf a, e, dan f juncto Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar.
[Redaktur: Alpredo Gultom]