WAHANANEWS.CO, Jakarta - Nasib Fani kini berujung pada penangkapan setelah terlibat dalam kasus penjualan anak di bawah umur kepada mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja.
Fani, yang dikenal dengan inisial F alias Stefani, berusia 20 tahun, kini terancam hukuman penjara selama 12 tahun.
Baca Juga:
Sosok Perempuan V dalam Kasus Cabul AKBP Fajar Diungkap Komnas HAM
Polisi berhasil menangkap Fani, yang diduga menyediakan anak untuk disetubuhi oleh Fajar. Penetapan status tersangka terhadapnya dilakukan pada Senin (24/3/2025).
Kombes Pol Patar Silalahi, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTT, menjelaskan bahwa Fani membawa seorang anak berusia lima tahun kepada Fajar dengan dalih mengajak makan dan berjalan-jalan.
Fani yang masih tercatat sebagai mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Kupang, mengenal korban dan orang tuanya.
Baca Juga:
Siswa SMA di Pinrang Diduga Cabuli 16 Bocah, Bereaksi Sejak Duduk di Bangku SMP
Setelah mengajak korban ke Hotel Kristal pada 11 Juni 2024, Fani menyuruh anak tersebut untuk tidak menceritakan kejadian yang dialaminya kepada orang tua.
Akibat perbuatannya, Fani dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dia dituduh menerima imbalan sebesar Rp3 juta untuk perannya dalam kejahatan ini.
Sementara itu, nasib karier mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar, juga terancam setelah dinyatakan bersalah dalam sidang etik dan dijatuhi hukuman pemecatan tidak hormat.
Truno menjelaskan, berdasarkan pemeriksaan Fajar diketahui melakukan sejumlah perbuatan tercela selama masih menjabat sebagai Kapolres Ngada.
Perbuatan ini antara lain:
1. Pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur
2. Perzinahan tanpa ikatan yang sah
3. Mengkonsumsi narkoba
4. Merekam dan memposting video kekerasan seksual.
Atas putusan etik yang dijatuhkan padanya hari ini, Fajar menyatakan untuk banding.
Sebelumnya, mantan Kapolres Ngada telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga mencabuli sejumlah anak di bawah umur.
Setelah diselidiki lebih lanjut oleh Mabes Polri dan Polda NTT, Fajar diduga melakukan pelanggaran dalam kategori berat.
Brigjen Trunoyudo sebelumnya mengatakan, AKBP Fajar telah mencabuli empat orang korban, di mana tiga di antaranya adalah anak di bawah umur.
"Dari penyelidikan pemeriksaan melalui kode etik dari wabprof, ditemukan fakta bahwa FLS telah melakukan pelecehan seksual dengan anak di bawah umur sebanyak tiga orang dan satu orang usia dewasa," kata Trunoyudo.
Dia menuturkan, 3 anak yang menjadi korban pencabulan itu masing-masing berusia 6 tahun, 13 tahun, dan 16 tahun, sedangkan orang dewasa yang dicabuli berusia 20 tahun.
Tak berhenti sampai di situ, dari hasil tes urine, AKBP Fajar terbukti positif menggunakan narkoba.
Oleh karenanya, terhadap AKBP Fajar Widyadharma juga telah ditetapkan sebagai tersangka.
Diberitakan sebelumnya, AKBP Fajar ditangkap Tim Divpropam Mabes Polri pada Kamis, 20 Februari 2025, setelah diduga mencabuli anak di bawah umur.
Penangkapan ini menyusul laporan otoritas Australia yang menemukan video tidak senonoh terhadap anak di bawah umur di salah satu situs porno.
Bisnis Video
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Choirul Anam, sebelumnya telah memprediksi bahwa sanksi etik berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) akan dijatuhkan kepada AKBP Fajar.
Ia menilai bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh AKBP Fajar tergolong berat.
"Dengan melihat bagaimana konstruksi peristiwa ini, ditambah pernyataan dari Kepala Biro Pengawasan dan Pembinaan Profesi (Karowabprof) Divpropam Polri, Brigjen Pol. Agus Wijayanto, yang menyebutkan bahwa ini termasuk pelanggaran berat, maka sudah bisa dipastikan akan berujung pada PTDH," ujar Anam di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, Senin (17/3/2025).
Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa masih ada sejumlah aspek yang belum terungkap dalam kasus dugaan pencabulan yang melibatkan AKBP Fajar.
Setidaknya ada dua hal yang menurutnya perlu diklarifikasi lebih lanjut, yaitu apakah ada unsur monetisasi dari video pencabulan yang diunggah ke situs dewasa di Australia, serta kemungkinan keterlibatan pihak lain dalam kasus ini.
"Kita masih perlu melihat lebih jauh apakah ada unsur monetisasi, misalnya jika video tersebut diunggah ke platform tertentu," jelasnya.
Anam menekankan bahwa mengurai kronologi peristiwa ini sangat penting, terutama untuk mengetahui apakah ada pihak lain yang turut serta dalam kasus ini.
"Apakah ini merupakan aksi individu atau ada komplotan di baliknya? Apakah ini terkait jaringan internasional atau hanya sebatas kelompok lokal? Hal-hal ini yang masih perlu ditelusuri lebih lanjut," tambahnya.
Jika terbukti ada unsur monetisasi serta keterlibatan jaringan tertentu, maka aspek pidana dalam kasus ini akan dibahas lebih mendalam.
[Redaktur: Rinrin Kaltarina]