WahanaNews.co | Lembaga Aliansi Indonesia (LAI) melalui Badan Pemantau dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi (BP2 Tipikor), terus menyoroti pengerusakan dan penyerobotan lahan sekitar 32 orang petani yang tergabung pada Kelompok Tani Hutan Produksi Teluk Bayur.
Luas keseluruhan sekitar 64 hektare, diduga dilakukan pihak PT Supra Bara Energi (PT SBE), yang merupakan perusahaan pertambangan Batubara di Desa Teluk Bayur, Kecamatan Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur (Kaltim).
Baca Juga:
Diancam Seno Aji karena Bertemu Isran Noor, Makmur HAPK: Saya Tidak Takut!
Sekretaris BP2 Tipikor, Randika Puri, mengakui pihaknya melaporkan mantan Kapolres Berau, Kasat Reskrim dan 2 (dua) penyidik yang ditunjuk kepada Kapolri, Kadiv Propam dan Irwasum Mabes Polri, terkait laporan para kelompok tani tahun 2015 lalu, yang diduga tidak di proses, termasuk dugaan melarikan pokok perkara dengan indikasi menyelamatkan pimpinan atau direktur PT SBE.
Pihaknya mensinyalir, ini seperti perusahaan mafia, terkesan arogan dan tidak takut dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan, seolah ada oknum dan aktor besar di belakangnya.
“Sikap pihak PT SBE kepada para petani sudah kelewat batas. Kami akan terus mengkawal permasalahan ini hingga selesai, termasuk proses hukumnya dan pelangarannya yang terindikasi adanya kerugian negara. Tak hanya itu, dugaan hasil kayu yang di rambah, lubang bekas galian yang banyak tidak dirapihkan kembali, juga penanaman pohon yang belum sepenuhnya dilakukan, harusnya menjadi catatan kepada Pemerintah Pusat dan Daerah, khususnya aparat penegak hukum (APH),” tegas Randika.
Baca Juga:
Dinkes Kaltim Laporkan 3 Ibu dan 53 Anak Meninggal
Randika menilai, banyaknya dugaan pelanggaran aktivitas penambangan batubara di Kaltim, khususnya di Kabupaten Berau, bukti bobroknya kinerja Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan jajarannya. Pihaknya juga mendesak KPK, Kapolri, Menteri ATR BPN, Menteri LHK, Ketua Komisi III dan VII DPR RI, BPK RI dan Menteri Polhukam untuk turun ke Berau melihat persoalan ini. Dan mensinyalir ada oknum dan aktor besar yang turut dan ikut bersekongkol di balik aktivitas PT SBE.
Ketua Kelompok Tani Hutan Produksi Teluk Bayur, Bachtiar didampingi Johar, Taufik, Irwansyah dan Andi, membenarkan telah melaporkan PT SBE ke Polda Kaltim, namun penanganan perkaranya dilimpahkan ke Polres Berau.
Sebelumnya, pada tahun 2015 lalu pihaknya sudah melaporkan dugaan adanya penyerobotan lahan dan pengerusakan lahan mereka, namun perkembangan dan hasil laporannya tidak jelas kelanjutannya. Pihaknya mendesak Pemerintah khususnya aparat penegak hukum serius menangani permasalahan ini.
“Kami menerima dua surat dari Kapolda Kaltim, yang ditandatangani oleh Wadirreskrimum AKBP. Roni Faisal Saiful Faton. Pertama perihal pelimpahan dumas ke Polres Berau, ke dua surat perihal SP2HP (Surat Pemberihauan Perkembangan Hasil Pengawasan Penyelidikan). Harapanya pihak Polres Berau lebih cepat menangani masalah ini, yang sudah lama terkatung-katung. Kami merasa terzalimi. Apa yang dilakukan pihak SBE sudah di luar batas dan seakan semaunya. Kami hanya meminta ganti rugi atas penyerobotan lahan dan pengerusakan lahan kami,” kata Bachtiar, sambil menunjukan ke dua surat tersebut kepada wartawan pekan lalu.
Truck melintasi jalan nasional, WMP-nya dipertanyakan
Hasil pengamatan di lapangan, PT SBE lahan konsesinya terbelah oleh Jl. Poros – Labanan, di Kecamatan Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Kaltim. Kendaraan dump truck bertonase berat bebas hilir mudik melintasi jalan tersebut, tanpa adanya larangan dan tindakan tegas dari aparat terkait.
Tak hanya itu, luasnya tambang terbuka Batubara yang digarap PT SBE, disinyalir tidak memiliki WMP (water monitoring point), sehingga patut diduga kualitas air tambang yang telah diolah untuk memastikan air yang masuk ke dalam badan air penerima tidak memenuhi baku mutu lingkungan yang berlaku. Sehingga patut diduga kegiatanya tidak sesuai rencana penambangan yang terindikasi tidak memperhatikan pengelolaan lingkungan.
Randika menjelaskan, pH (tingkat asam atau basa pada air) air tambang yang diduga dikerjakan di bukan lahan konsesi PT SBE, patut diduga pH nya kurang dari pH 2, dengan konsentrasi logam terlarut yang relatif tinggi.
“Kuat dugaan telah terjadinya pengerusakan lingkungan dan sangat membahayakan untuk okosistem yang ada di sekitarnya, khususnya masyarakat sekitar, ujarnya, Rabu (3/05/2023).
Dugaan korupsi pada Aktivitas PT SBE
Randika menjelaskan, bukan saja adanya dugaan tindak pidana atas lahan puluhan para petani yang di rusak dan diserobot oleh pihak PT SBE demi mendapatkan batubara. Pihaknya juga mempertanyakan luas lahan konsesi yang telah mengantongi izin, termaksud dugaan ribuan pohon yang telah berusia puluhan tahun yang di rambah dan hasilnya entah kemana. Pihaknya menuding aktifitasnya diduga illegal, disinyalir ada oknum dan aktor besar yang membekingi PT SBE.
“Hasil investigasi kami, luasnya tambang terbuka batubara yang digarap PT SBE, disinyalir tidak memiliki WMP (water monitoring point), sehingga patut diduga kualitas air tambang yang telah diolah untuk memastikan air yang masuk ke dalam badan air tidak memenuhi baku mutu lingkungan yang berlaku. Patut diduga kegiatanya tidak memperhatikan pengelolaan lingkungan, sesuai rencana awal penambangan. Laporan tentang analisa dampak lingkungan dan diterimanya laporan tersebut, patut untuk dipertanyakan kebenarannya,” terang Randika.
“Tindakan PT SBE sudah sangat di luar batas. Data-data, informasi dan hasil investigasi kami, patut diduga terjadinya tindak pidana pengerusakan, penyerobotan, pencemaran lingkungan, termaksud dugaan pencurian aset negara (korupsi), yang bila terbukti bisa saja dijerat pencucian uang. Pihak pemerintah terkait dan aparat hukum terkesan tutup mata, indikasinya kegiatan PT SBE terus berjalan, kisruh para kelompok tani dengan pihak PT SBE, 11 tahun lebih belum juga bisa diselesaikan. Kami konsisten dan akan serius mendampingi para petani, termaksud melaporkan pihak yang diduga bersekongkol,” ujar Randika.
Dugaan korban baru pihak PT SBE
Tak hanya para Kelompok Tani Hutan Produksi Teluk Bayur yang diduga menjadi korban penyerobotan lahan dan pengerusakan lahan oleh pihak PT SBE. Alimin (74 tahun), salah seorang petani yang juga mengaku lahannya di rusak dan diserobot oleh pihak PT SBE, pada bulan Oktober 2022 lalu, dengan luasan sekitar 4 (empat) hektare, di Desa Teluk Bayur, Kecamatan Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Kaltim, hingga saat ini belum juga mendatakan ganti rugi, jelasnya, Kamis (27/04/2023).
“Jangankan ganti untung, etikat baik PT SBE untuk menganti rugi lahan saya yang seenaknya diserobot sampai saat ini belum ada realisasinya. Saya memiliki dokumen kepemilikan atas tanah yang saya miliki. Bahkan SPPTnya tahun 2022 lalu, dengan nomor wajib pajak (NOP) 64.03.080.001.022-0179.0, sudah saya bayar, setorkan. Pemerintah dan aparat hukum terkait harus cepat menyelesaikan pemasalahan kami para petani,” harap Lato, panggilan akrab Alimin, yang kini tergabung pada para Kelompok Tani Hutan Produksi Teluk Bayur yang juga diduga korban PT SBE.
Dirikan posko perjuangan korban PT SBE
Semakin banyaknya diduga korban penyerobotan pihak PT SBE yang jumlahnya mencapai 33 orang petani, pihak Kelompok Tani Hutan Produksi Teluk Bayur juga mendirikan Posko Perjuangan Korban pihak PT SBE.
Di Posko tersebut ada spanduk yang bertuliskan “GEBUK MAFIA TANAH, Kami Tunjukkan Hidung PT SUPRA BARA ENERGI Untuk Adu Data Atas Hak Kepemilikan Awal Tanah Secara Terbuka.”
Bachtiar menjelaskan, ide pendirian Posko tersebut lahir karena makin banyaknya korban yang mengaku lahannya di rusak dan diserobot oleh pihak PT SBE, yang hingga kini belum juga mendapatkan ganti rugi.
Pihaknya berkomitmen akan terus berjuang dan siap menerima pengaduan bagi warga atau petani yang mendapatkan musibah yang sama agar berjuang bersama-sama.
Sementara itu, atas temuan-temuan lapangan BP2 Tipikor LAI dan keluhan Kelompok Tani, hingga berita ini ditayangkan wartawan masih berupaya untuk meminta kanfirmasi dari Dirjen Minerba Kementerian ESDM di Jakarta.
[Redaktur: alpredo]