WahanaNews.co, Jakarta - Lonjakan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) dan membanjirnya angkatan kerja baru menjadi sinyal peringatan serius bagi pemerintah di tengah janji
menciptakan 19 juta lapangan kerja. Kenyataan di lapangan justru menunjukkan fakta yang jauh dari harapan.
Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Abdul Kadir mengakui bahwa situasi ketenagakerjaan nasional saat ini penuh tantangan. Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah adalah mendorong tenaga kerja Indonesia (TKI) untuk bekerja ke luar negeri.
Baca Juga:
KSPSI Pimpinan Yorrys Raweyai Hadiri Sidang ILO di Jenewa, Hendi Poernomo dan Rizky Yudha Jadi Delegasi
"Akibat tingginya angka pengangguran, kami terus membuka akses bagi pekerja migran Indonesia," kata Abdul Kadir.
Namun, langkah ini menuai kritik dari banyak pihak. Arnod Sihite, Wakil Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), sekaligus Ketua Umum Pimpinan Pusat PPMI KSPSI serta anggota Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional.
Ia menilai pemerintah seharusnya lebih fokus menjaga keberlangsungan industri dalam negeri dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Baca Juga:
May Day Ricuh di Parlemen, Polda Metro Amankan 13 Terduga Anarko
"Saya tidak habis pikir kenapa situasi ini bisa terjadi. Disatu sisi, pemerintah menjanjikan 19 juta lapangan kerja, tapi di sisi lain mendorong rakyat bekerja ke luar negeri akibat ketidakmampuan menyerap tenaga kerja di dalam negeri," kata Arnod Sihite kepada WahanaNews.co, Rabu (02/07/2025) di Jakarta.
Ket foto: Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Abdul Kadir Karding (tengah) saat foto bersama Wakil Ketua Umum KSPSI, Arnod sihite [WahanaNews.co/Ist]
Ia menyoroti banyaknya sektor padat karya dan manufaktur yang justru melakukan PHK besar-besaran.
Menurut data PHK yang diterima oleh Apindo pada bulan maret 2025 ada 73.992 kasus, selain itu sejumlah perusahaan lainnya juga mengalami nasib serupa yang baru - baru ini perusahaan Sritex 10.000 orang kena PHK.
Begitu juga beberapa industri komponen otomotif dan garmen di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jakarta, Riau dan daerah lain akibat berbagai tekanan eksternal.
"Situasi global memang tidak stabil. Ada perang antara Iran dan Israel, kebijakan proteksionis Amerika Serikat yang menaikkan tarif masuk produk tertentu, semuanya berdampak ke Indonesia. Tapi seharusnya pemerintah punya strategi menjaga agar industri kita tetap tumbuh dan tenaga kerja tetap terlindungi," tegas Arnod.
Ia menambahkan, Indonesia saat ini menghadapi tantangan ganda: gelombang PHK dan membeludaknya lulusan baru dari sekolah kejuruan dan perguruan tinggi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran per Februari 2025 mencapai 7,28 juta jiwa.
Kondisi ini diperparah oleh stagnasi pertumbuhan ekonomi nasional yang masih berada di angka 4,7%, jauh dari target ideal 5-6% untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan.
Ket foto: Prof Yassierli Menteri Tenaga Kerja berkepala tangan dengan Arnod Sihite, Wakil Ketua Umum KSPSI saat audiensi membahas tentang kesejahteraan ketenagakerjaan di Indonesia [WahanaNews.co/Ist]
Menurut laporan Macro Poverty Outlook 2025 dari Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mengalami peningkatan signifikan, dengan jumlah penduduk miskin mencapai 60,3%.
"Ini jadi alarm perhatian serius dari semua pihak dan pemerintah. Kalau tidak segera dicari solusinya, daftar kemiskinan kita akan makin panjang," ujar Arnod.
Dalam upaya mengurangi tekanan ini, salah satu langkah positif yang telah dilakukan pemerintah adalah penyelenggaraan job fair untuk mempertemukan pencari kerja dan perusahaan. Namun, Arnod menilai langkah ini belum cukup.
"Pemerintah perlu menciptakan terobosan konkret, bagaimana memitigasi gelombang PHK, membuka peluang investasi baru, dan memastikan tenaga kerja terserap kembali sesuai bidangnya masing-masing," tegasnya.
Arnod juga menyarankan agar pemerintah lebih aktif mendorong ekspor ke negara-negara yang tidak terdampak konflik atau kebijakan proteksionis, sehingga industri dalam negeri bisa kembali mendapatkan pesanan dan meningkatkan produktivitas.
Ia juga mendorong Danantara mendanai sektor padat karya serta pembangunan infrastruktur yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Menurutnya, program semacam ini harus diperluas sebagai solusi jangka menengah untuk membuka lapangan kerja domestik.
"Daripada mendorong tenaga kerja kita bekerja ke luar negeri sebagai solusi jangka pendek, lebih baik pemerintah berfokus menciptakan ekosistem industri yang sehat, agar masyarakat Indonesia bisa bekerja dan mendapatkan penghidupan yang layak di negeri sendiri," tutur Arnod.
Arnod Sihite menyatakan bahwa Indonesia setiap tahunnya membutuhkan penciptaan antara 3 hingga 4 juta lapangan kerja baru.
Menurutnya, kondisi saat ini tidak cukup memadai, apalagi jika mempertimbangkan terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang turut menambah tekanan.
“Kita perlu memperkuat penciptaan lapangan kerja di dalam negeri, termasuk mengantisipasi potensi PHK ke depan,” ujarnya.
Ia pun mengapresiasi rencana pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK sebagai langkah awal untuk menanggulangi persoalan ini secara lebih terkoordinasi.
“Pembentukan Satgas ini bisa menjadi titik tolak dalam menangani masalah PHK secara kolektif. Ini persoalan nasional yang harus mendapat perhatian serius dari semua pemangku kepentingan,” tegas Arnod.
Lebih lanjut, Arnod menjelaskan bahwa Satgas PHK idealnya tidak hanya bersifat reaktif terhadap kasus PHK yang sudah terjadi, tetapi juga mampu menjalankan fungsi pencegahan dan perencanaan strategis dalam sektor ketenagakerjaan.
“Satgas ini harus bisa menyusun peta persoalan ketenagakerjaan di Indonesia agar solusi yang diambil bisa tepat sasaran dan cepat diterapkan,” katanya.
Ia juga menyampaikan apresiasi terhadap komitmen Presiden Prabowo Subianto yang menunjukkan perhatian besar terhadap isu perburuhan dan akar permasalahan ketenagakerjaan.
“Kita melihat adanya komitmen nyata dari Presiden untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan dari hulunya, ini patut diapresiasi,” tutur Arnod.
[Redaktur: Amanda Zubehor]