Untuk itu, Hasto menekankan pentingnya pendidikan seks sejak usia dini, utamanya pada remaja, mengingat saat ini, kontak seksual pada usia remaja sudah semakin maju.
"Hasil hubungan atau kontak pertama seksualitas laki-laki dan perempuan di periode 2013-2015 puncaknya di usia 18 tahun, meski di usia 13-14 juga sudah terjadi kontak seksual, padahal di tahun 1990-an angka puncaknya di usia 20 tahun," ucapnya.
Untuk itu, ia mengingatkan agar para orang tua ikut waspada dan turut memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi atau pendidikan seksual, karena kontak seksual yang lebih dini atau early sexual intercourse tanpa pemahaman yang baik tentang reproduksi bisa menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan.
Baca Juga:
Kemen PPPA Sebut Kampung Ilmu Bisa Dorong Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga
"Ini tantangan bersama, karena masih banyak yang menganggap bahwa pendidikan seks di usia dini itu tabu dilakukan orang tua. Yang dikhawatirkan itu, kalau semakin muda remaja melakukan intercourse, akan berdampak pada unwanted pregnancy, atau hamil di usia terlalu muda," katanya.
Ia juga mengingatkan, apabila semakin banyak kehamilan tidak diinginkan di usia muda, maka dapat menyebabkan semakin banyak remaja yang putus sekolah, dan meningkatnya angka kematian ibu (AKI), di mana saat ini berdasarkan data, posisi AKI di Indonesia adalah 189 per 100 ribu kelahiran hidup, sangat jauh jika dibandingkan dengan Singapura yang angkanya hanya tujuh per 100 ribu kelahiran hidup.
"Juga angka kematian bayi yang akan meningkat, selain angka kematian ibu dan putus sekolah, sehingga mengakibatkan mereka tidak bekerja yang kemudian insecure di hari tua. Ini akan menjadi missed demographic dividend, atau tidak berhasilnya kita mencapai bonus demografi," ucapnya.
Baca Juga:
BKKBN Sultra Edukasi Gizi dan Cegah Anemia bagi Siswa MA PESRI Kendari
Hasto juga menyinggung permasalahan gangguan mental dan emosional yang semakin meningkat.
"Stunting memang sudah menurun menjadi 21,6 persen, tetapi ingat, kalau kualitas SDM tidak hanya ada stunting yang menentukan. Salah satu yang menggerus produktivitas adalah mental emotional disorder," ujarnya.
Ia memaparkan, banyak remaja yang mengidap gangguan mental dan emosional, dimana angkanya naik dari enam persen pada 2013 menjadi 9,8 persen di 2019.