WahanaNews.co | Wakil Ketua MPR sekaligus anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengungkapkan putusan vonis yang ringan terhadap terdakwa kasus korupsi bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi.
Hal itu dikatakan Arsul saat menanggapi soal sejumlah narapidana kasus korupsi yang kini telah keluar dari lembaga permasyarakatan (lapas) berkat keputusan bebas bersyarat.
Baca Juga:
Kasus Pengolahan Karet Kementan, KPK Cegah 8 Orang ke Luar Negeri
"Saya termasuk anggota Komisi 3 DPR yang turut membahas UU Pemasyarakatan yang baru. Hemat saya, persoalan yang terkait dengan warga binaan pemasyarakatan terpidana korupsi itu bukan soal pemberian remisi atau pembebasan bersyarat, tetapi vonis yang ringan," kata Arsul Sani di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (16/9/2022).
"Barangkali yang harus dikoreksi, kenapa dalam rangka meningkatkan semangat pemberantasan korupsi vonis-vonisnya kok rendah," lanjutnya.
Di sisi lain, Arsul menyebut pemberian remisi bagi napi kasus korupsi dilihat dari proses peradilan, karena konsep saat ini bukan lagi pemenjaraan, melainkan pembinaan.
Baca Juga:
Korupsi Sumur Artesis Rp2,2 Miliar, Kejari Kota Palu Pasang Alat Pengawas Elektronik 2 Tersangka
Dia lalu menuturkan napi koruptor yang sudah menjalankan kewajibannya, dapat dipenuhi haknya.
"Itu harusnya dilihat di dalam proses peradilan, konsekuensi, sekali lagi dari paradigma setelah putusan hakim kita itu bukan pemenjaraan. Paradigmanya adalah pemasyarakatan. Bukan lagi retributif bukan lagi pembalasan, tapi pembinaan," ujarnya.
"Justru menjadi tidak benar, kalau seorang terpidana korupsi, menurut saya, dia sudah berkelakuan baik, tidak lakukan apa pun, sudah membayar uang pengganti, membayar denda, tapi kemudian dia dipersulit mendapatkan haknya," ucap Arsul.
Oleh sebab itu, Arsul kembali menuturkan pembebasan bersyarat napi kasus korupsi itu dilihat dari vonisnya.
Dia mengaku Komisi III telah berkonsultasi dengan Mahkamah Agung terkait hal tersebut.
"Jadi yang harus kita urai adalah dari vonis, bukan pembinaan. Kalau kami di DPR, Komisi 3, ketika rapat konsultasi dengan Mahkamah Agung, karena itu sesama Lembaga Negara, kita sampaikan, agar Mahkamah Agung itu dalam perkara korupsi membuat yang namanya sentencing guidance, itu pedoman pemidanaan," terang Arsul.
Sebelumnya, KPK turut menyampaikan pandangannya soal pemberian remisi ataupun pembebasan bersyarat kepada narapidana korupsi.
KPK berharap ada keterbukaan dan proporsionalitas dalam pemberian hak itu.
"Jadi remisi maupun pembebasan bersyarat itu hak yang diberikan di Pasal 10 UU Pemasyarakatan, tapi pelaksanaannya harus proporsional," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron kepada wartawan, Kamis (15/9/2022).
"Nah, itu yang kemudian kami berharap ada proporsionalitas dan ada keterbukaan. Karena proses peradilan pidana itu terbuka, di sidang semuanya terbuka," tambahnya.
Ghufron menjelaskan, harus ada keseimbangan antara perbuatan pelaku korupsi yang dianggap mencederai publik dan merugikan rakyat Indonesia.
Oleh sebab itu, dia menilai pemberian remisi kepada napi korupsi yang proporsional.
"Maksudnya apa proporsional? Harus seimbang antara perbuatannya yang mencederai publik dan merugikan Indonesia rakyat banyak dengan kemudian pembinaan yang masanya, mohon maaf kadang hanya masanya 4 tahun sudah dianggap kemudian terpulihkan," ucap Ghufron.
Dia memahami soal UU Pemasyarakatan itu dapat memberikan hak kepada para napi koruptor untuk mengajukan remisi hingga pembebasan bersyarat.
Namun, menurut dia, dalam kenyataannya pemasyarakatan itu adalah subsistem proses peradilan pidana yang tak bisa berdiri sendiri dalam penilaiannya.
"Sekali lagi, KPK memahami bahwa Undang-Undang Pemasyarakatan itu memberikan hak untuk mengajukan remisi dan pembebasan bersyarat kepada para narapidana, tetapi KPK memberikan garis bawah bahwa pemasyarakatannya itu adalah subsistem dari proses peradilan pidana. Jadi tidak bisa berdiri sendiri bahwa seakan-akan penilaiannya hanya penilaian ketika di dalam lapas," ujarnya.
Oleh sebab itu, Ghufron berharap pemberian remisi dan pembebasan bersyarat itu juga mempertimbangkan soal perilaku narapidana dalam proses penyelidikan hingga persidangan.
"KPK ingin dan berharap pemberian remisi dan pembebasan bersyarat itu juga harus mengapresiasi dan memerhatikan bagaimana perilaku pada saat penyelidikan, penyidikan, bahkan disidang," tegasnya.
Kemudian, Ghufron juga menyebut pemberian remisi berdasarkan sudut pandang masa pembinaan di lapas itu tidak masuk akal. Terlebih, menurut dia, keterampilan yang dikerjakan narapidana korupsi di lapas itu dianggap jadi sesuatu yang berkontribusi bagi negara dan kemanusiaan.
"Kan tidak logis kalau kemudian remisinya seakan-akan hanya remisi dalam perspektif masa pembinaan di lapas saja. Apalagi kemudian misalnya dianggap sudah memiliki kontribusi bagi negara dan kemanusiaan ketika sudah donor darah, kemudian pandai membatik, dan lain-lain," imbuhnya. [rin]