WahanaNews.co | Target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) yang ditetapkan pemerintah mencapai 23% pada 2025 mendatang. Demi menggenjot EBT, pemerintah saat ini tengah menyusun Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) EBT.
RPerpres ini bakal mengatur soal pembelian tenaga listrik berbasis energi terbarukan oleh PT PLN (Persero).
Salah satu substansi penting dari RPerpres ini adalah jika pembelian listrik energi terbarukan menyebabkan peningkatan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PLN, maka pemerintah akan menutupi selisih biayanya alias nombokin.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Hal ini disampaikan oleh Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya.
"Jadi kalau harga jual (listrik EBT) US$ 10 sen, BPP di setempat US$ 8 sen, maka US$ 2 sen per kWh akan diberikan negara ke PLN," ungkapnya dalam webinar 'Menuju COP26 Glasgow', dikutip Selasa (02/11/2021).
Tidak hanya siap nombikin, masih ada empat substansi lain dari RPerpres ini. Aturan lainnya yaitu kewajiban PT PLN (Persero) untuk membeli listrik dari pembangkit energi terbarukan.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
"Kami sedang menunggu RPerpres, di dalam RPerpres ini ada proses transparansi yang lebih baik di mana kita wajibkan PLN membeli listrik dari pembangkit energi terbarukan," lanjutnya.
Listrik yang wajib dibeli oleh PLN mencakup seluruh jenis pembangkit listrik energi terbarukan, di antaranya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/ Angin (PLTB).
Jika ada kata "wajib", maka artinya PLN wajib membeli listrik EBT meskipun tengah dalam kelebihan pasokan listrik atau pun harga tinggi.
Selanjutnya adalah mekanisme harga yakni skema feed in tariff, harga patokan tertinggi, dan harga kesepakatan. Kemudian, insentif fiskal dan non fiskal untuk pengembangan listrik energi terbarukan.
Listrik EBT yang masih lebih mahal ini dikhawatirkan akan menjadi beban APBN karena negara harus nombok. Lalu, apakah ini yang menjadi sebab Jokowi belum mau teken?
Selain target bauran 23% pada 2025, target lebih jauh lagi pemerintah ingin mencapai netral karbon di tahun 2060. Di mana salah satu langkah yang akan diambil adalah dengan mempensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Jika pengurangan PLTU dipercepat, artinya akan ada tambahan biaya, terutama untuk mengembangkan EBT yang harga listriknya jauh lebih mahal.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan, Indonesia tidak akan mengiba kepada negara lain agar pengurangan PLTU bisa lebih cepat.
"Kita menawarkannya, kalau kamu mau ikut dukung, ayo kita bisa lakukan 2050, kita bisa lakukan 2040, tetapi tunjukkan kami uangnya mana, uangnya itu yang kemarin mengemuka di Glasgow," kata Rida dalam webinar, Selasa (23/11/2021).
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga menyampaikan hal yang sama. Presiden mewanti-wanti terkait rencana transisi energi ini agar jangan sampai justru membebankan negara maupun rakyat.
Jika beralih ke EBT, maka harga listriknya diperkirakan akan lebih mahal, Presiden pun menegaskan agar beban tambahan biaya ini jangan sampai dibebankan kepada negara maupun rakyat.
Dia mengakui, negara tidak akan mampu menombok ratusan triliun untuk transisi energi ini dan dia pun tidak menginginkan ini dibebankan ke rakyat dengan menaikkan tarif listrik.
"EBT potensinya sangat besar sekali, tapi harus ingat para pemimpin dunia sampaikan sudah lama dan kita sudah tanda tangan kontrak pakai namanya batu bara, skenario seperti apa misalnya pendanaan datang, kalau EBT ini datang harganya lebih mahal dari batu bara, siapa yang bayar gap biaya ini? Ini yang belum ketemu.
Dibebankan ke negara kita gak mungkin, berharap ratusan triliun, atau dibebankan ke masyarakat, tarif naik juga gak mungkin, ramai nanti gegeran kenaikan sangat tinggi sekali naik 10-15% demo tiga bulan," papar Jokowi di hadapan Menteri ESDM Arifin Tasrif dan juga sejumlah pemimpin perusahaan bergerak di sektor EBT saat membuka The 10th Indonesia EBTKE ConEx 2021 di Istana Presiden, Senin (22/11/2021). [dhn]