WAHANANEWS.CO. Jakarta - Organisasi Relawan Nasional MARTABAT Prabowo-Gibran menyambut positif langkah pemerintah yang merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 33 provinsi di Indonesia.
Bagi MARTABAT, rencana besar ini merupakan sinyal kuat bahwa persoalan sampah tidak lagi dianggap isu pinggiran, melainkan bagian dari strategi nasional menuju kemandirian energi ramah lingkungan.
Baca Juga:
Dukung Indonesia sebagai Produsen Sawit Terbesar Dunia, ALPERKLINAS Apresiasi Terobosan PLN Ubah Limbah Jadi Listrik
Ketua Umum MARTABAT Prabowo-Gibran, KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa langkah pemerintah tersebut patut diapresiasi sekaligus dikawal agar implementasinya tidak berhenti pada wacana semata.
“Sampah sudah menjadi darurat nasional. PLTSa adalah jawaban yang strategis karena mampu menyelesaikan dua persoalan sekaligus: menekan volume sampah dan menghasilkan energi terbarukan,” ujar Tohom di Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Menurut Tohom, proyek ini juga harus dilihat sebagai bagian dari transformasi energi nasional yang lebih besar. Ia menilai target dalam RUPTL 2025–2034 yang menempatkan EBT sebesar 76% dari total kapasitas pembangkit menjadi bukti keseriusan pemerintah.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Dorong Keterlibatan Asosiasi-asosiasi EBT dalam Kepengurusan METI
“Kalau pemerintah benar-benar konsisten, maka Indonesia bisa menjadi role model pengelolaan energi berbasis sampah di Asia Tenggara,” tambahnya.
Lebih jauh, Tohom menyoroti aspek teknis dan tata kelola. Menurutnya, keterlibatan mitra teknologi dari luar negeri harus diimbangi dengan penguatan kapasitas SDM lokal.
“Teknologi dari China atau negara lain memang penting, tetapi jangan sampai kita hanya menjadi pasar. Anak bangsa harus dilibatkan sejak tahap desain, pembangunan, hingga operasional, agar transfer pengetahuan benar-benar terjadi,” jelasnya.
Sebagai Ketua Aglomerasi Watch, Tohom juga menekankan pentingnya integrasi antara pembangunan PLTSa dengan tata ruang perkotaan. Ia mengingatkan bahwa lokasi fasilitas pengolahan sampah tidak boleh sekadar ditentukan berdasarkan ketersediaan lahan.
“Kita bicara aglomerasi. Artinya, penempatan PLTSa harus terhubung dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi agar manfaatnya terasa langsung. Jangan sampai proyek ini berdiri megah, tetapi tidak efisien karena jauh dari sumber sampah utama,” kata Tohom.
Ia pun mengingatkan bahwa keberhasilan proyek ini sangat bergantung pada keterlibatan pemerintah daerah.
“Pemda jangan hanya jadi penonton. Mereka harus aktif membangun sistem pengumpulan sampah yang terintegrasi. Kalau tidak, PLTSa bisa kekurangan pasokan bahan baku,” tegasnya.
Tohom menutup dengan pernyataan bahwa pembangunan PLTSa di 33 provinsi harus dilihat sebagai peluang emas.
“Ini momentum. Sampah yang selama ini jadi beban bisa berubah menjadi berkah energi. Namun, butuh konsistensi, pengawasan, dan sinergi semua pihak. Kalau gagal, kita hanya akan menambah tumpukan masalah baru,” pungkasnya.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]