Prajogo tidak memiliki latar belakang pendidikan hingga perguruan tinggi.
Karena keterbatasan keuangan keluarga, ia hanya lulusan SMP. Untuk itu, Prajogo berpikir untuk mencari pekerjaan.
Baca Juga:
Dorong Transisi Energi Nasional, PLN Gencar Lakukan Kolaborasi Lintas Sektor, Kembangkan PLTP
Sempat mengadu nasib ke Jakarta, tetapi belum berbuah hasil yang baik kembalilah dia ke kampung halaman.
Di kampung halaman Prajogo bekerja menjadi sopir angkot.
Dalam catatan detikcom yang mengutip dari CNBC Indonesia, Prajogo mengawali bisnis pada 1960an, di mana nasibnya berubah saat bertemu dengan pengusaha kayu asal Malaysia, Bon Sun On tau Burhan Uray.
Baca Juga:
Menuju Net Zero 2060, PLN Siap Kawal Energi Bersih Lewat PLTP dan PLTS
Pertemuan dan hubungannya dengan Burhan Uray membuat Prajogo akhirnya memiliki karier di PT Djajanti Group pada 1969. Sektitar tujuh tahun kemudian, Burhan mengangkat Prajogo menjadi general manager (GM) di pabrik Plywood Nusantara, Gresik, Jawa Timur.
Hanya setahun berkarier di PT Djajanti Group, Prajogo Pangestu memulai bisnis kayu pada akhir 1970-an. Demikian dikutip dari Forbes, saat itu Prajogo mencoba pinjaman dari bank, dia membeli CV Pacific Lumber Coy yang kala itu sedang mengalami kesulitan keuangan. Kemudian perusahaannya berganti menjadi PT Barito Pacific Lumber.
Kemudian, perusahaannya go public pada 1993 dan berganti nama menjadi Barito Pacific setelah mengurangi bisnis kayunya pada 2007.