BEKERJA dari rumah (work from home/WFH) telah menjadi sebuah fenomena umum yang dilakukan pekerja kantor di saat pandemi.
Di tengah membaiknya penanganan pandemi di Indonesia dan mulai pulihnya kewajiban work from office (WFO), ada tarik menarik untuk kembali bekerja di kantor.
Baca Juga:
Menkes Ungkap Kebijakan WFH untuk Tekan Emisi Karbon Kendaraan
Catatan Gugus Tugas Covid-19 pada 28 November 2021 pernah menunjukkan tingkat mortalitas yang sangat optimistik, yaitu hanya 1 (satu) orang yang meninggal dan 264 kasus baru (dalam sehari).
Jika dibandingkan dalam kurun waktu sebelumnya, rata-rata tingkat penularan sejak akhir September 2021 sudah mirip kurva bulan Juli 2020.
Sementara jika dibandingkan kurva tingkat mortalitasnya, maka kondisi saat ini sudah mirip keadaan bulan Maret-April 2020.
Baca Juga:
Sri Mulyani Sebut Anak Muda Sekarang Tak Suka Bekerja di Kantor
Kondisi yang sangat menjanjikan di Indonesia ini sangat berbeda dengan negara-negara Eropa Barat, Rusia, Brasil, India bahkan Amerika Serikat yang masih menghadapi kendala angka penularan dan tingkat mortalitas yang lebih tinggi.
Di Inggris Raya, misalnya, yang berani menyelenggarakan Euro 2020, memiliki angka mortalitas Covid-19 sebanyak 3 digit (ratusan) dan angka penularan 5 digit (puluhan ribu) dalam kurun waktu yang sama.
Indeks pengendalian Covid-19 --Kompas, yang mencatat aspek pengendalian manajemen pengobatan dan manajemen pencegahan-- menunjukkan peningkatan skor hingga di atas 80 alias penanganan pandemi yang terkendali baik.
Peringkat sejumlah daerah di Indonesia Timur juga berangsur-angsur membaik sebagaimana di wilayah Jawa dan Sumatera.
Seiring dengan menurunnya indikasi keparahan dampak pandemi itu, kegiatan publik sudah kembali “normal” dengan mulai hiruk pikuknya kemacetan jalanan di perkotaan, dan mulai bergairahnya pusat-pusat perbelanjaan.
Dirlantas Polda Metro Jaya memberitakan, volume arus lalu lintas telah mendekati normal dan menimbulkan kemacetan di beberapa wilayah Ibu Kota.
Kenaikan arus lalu lintas meningkat dibanding minggu-minggu sebelumnya dan mencapai 40 persen atau bahkan di beberapa titik sudah 80 persen.
“Sehingga memang Jakarta sudah mulai macet di mana-mana," kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Kombes Sambodo Purnomo Yogo, sebagaimana disadur dari laman tribratanews.polri.go.id, Selasa (23/11/21).
Demikian pula laporan Asosiasi Pengelolaan Pusat Belanja Indonesia (APBBI) mencatat, hingga akhir September 2021 lalu telah terjadi kenaikan kunjungan antara 5-10 persen menjadi sekitar 35 hingga 35-40 persen (Kompas.com, 28/9/2021).
Di tengah kembalinya hiruk pikuk aktivitas publik, ada dua jenis kegiatan publik yang masih dilakukan secara hati-hati, yakni kegiatan belajar mengajar di sekolah/kampus dan kegiatan perkantoran di kota-kota besar seperti Jakarta.
Penerapan pelaksanaan kegiatan Pembelajaan Tatap Muka (PTM) di sekolah bersifat “fleksibel”, yaitu menyesuaikan dengan tingkat ancaman penularan baru Covid-19 yang terdekteksi di lingkungan sekolah.
Klaster pembelajaran tatap muka terbanyak terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur.
Tercatat ada 1.302 klaster sekolah terdiri dari 583 klaster Sekolah Dasar, 251 klaster PAUD, 244 klaster SMP, 109 klaster SMA, 70 klaster SMK dan 13 klaster SLB.
Diperkirakan ada 2,77 persen sekolah menjadi klaster baru kasus Covid-19 selama PTM dilakukan.
Sejumlah cluster paparan baru Covid-19 memang muncul di sejumlah sekolah kota meski belum ada yang menimbulkan angka mortalitas menonjol.
Meski demikian, akibat kasus paparan itu kegiatan persekolahan di sejumlah daerah pun banyak yang kembali ditunda/dimundurkan.
Pekerja Formal
Berbeda dengan kegiatan tatap muka di lembaga pendidikan yang “buka tutup” namun tetap “mengejar“ bentuk tatap muka, perdebatan tentang penerapan kegiatan tatap muka lebih seru terjadi di kalangan pekerjaan formal.
Jika murid sekolah sangat rindu ingin bertemu kembali dengan teman sekolahnya, maka pekerja formal justru kebanyakan menyuarakan ketidakminatan pada kegiatan tatap muka di tempat bekerja.
Sikap pekerja formal ini tentu saja juga berbeda dengan kalangan pekerja informal yang rata-rata jenis pekerjaannya justru lebih mensyaratkan bisa bertemu tatap muka dengan pelanggannya (pedagang kaki lima, wiraswasta, dll).
Singkat kata, hanya di kalangan pekerja formal perkantoran isu terkait WFH-WFO sungguh telah memecah “kesatuan” visi kerja dan menyebabkan banyak keputusan perusahaan terkait WFO menjadi tidak efektif.
Sejumlah argumentasi diajukan kalangan yang tak setuju dilakukannya kembali WFO.
Di antaranya adalah alasan klasik soal kekhawatiran tertular Covid-19, dan soal “pengorbanan” yang telah dilakukan mereka saat pandemi dimulai dan mereka harus bekerja di rumah.
Kesediaan pekerja untuk bekerja secara normal namun di rumah pada awal pandemi, menyebabkan mereka merasa “berhak” menuntut pengorbanan sebaliknya.
Kantor tempat mereka bekerja diminta memaklumi kondisi mereka yang sudah terbiasa bekerja WFH dengan tidak menuntut harus kembali WFO.
Ada pula alasan yang bersifat lebih ideal praktikal yaitu merasa bisa lebih produktif dalam performa kinerja dengan melakukan pola kerja WFH.
Apapun alasannya, untuk kalangan pekerja formal semacam ini kebanyakan institusi pemberi kerja belum menemukan resep jitu pola kerja masa pandemi.
Sejumlah pihak menuntut jawaban pasti bentuk kehadiran seperti apa yang akan dijalankan kalangan pekerja dalam kondisi saat ini, yakni pandemi yang belum sepenuhnya berakhir.
Tampak ada kesulitan untuk benar-benar memulihkan kehadiran karyawan/pekerja di kantor baik karena tuntutan karyawan maupun pembatasan kegiatan dari pemerintah sendiri seperti PPKM jilid 1-4.
Opini ASN
Bahkan tak hanya melanda pekerja formal swasta, namun pekerja ASN pun mengalami dinamika dengan pola kerja WFH-WFO.
Pusat Kajian Kebijakan Administrasi Negara (PK2AN) LAN melakukan e-survey pada tanggal 12 Agustus hingga 12 Oktober 2020 untuk melihat efektifitas kinerja ASN selama masa WFH.
Survei mendapatkan respon balik dari 68.229 ASN Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia.
Sebanyak separuh responden survei adalah dari kategori Jabatan Pelaksana dan diikuti dari kelompok Jabatan Fungsional Tertentu sejumlah 34 persen.
Ragam ranah responden juga meliputi 11 bidang tugas yaitu tata usaha, petugas lapangan, penelitian/pengkajian, pengajar, manajemen, auditor, perijinan, administrasi kependudukan, penegak hukum (penyidik, jaksa) dan paramedis.
Hasilnya?
Hampir seluruh responden (91 persen) ASN menyatakan melaksanakan WFH selama masa pandemi di tahun 2020 dan hanya sedikit menyatakan tidak melaksanakan WFH.
Meski melaksanakan WFH, persepsi responden atas capaian kinerja menunjukkan hasil yang cukup optimistik.
Mayoritas responden (73 persen) menyatakan berkinerja baik atau sangat baik, dan hanya 26 persen responden yang menyatakan bisa berkinerja cukup.
Hanya 1 persen responden yang menyatakan bahwa selama menjalankan WFH telah berkinerja buruk.
Dalam online survei ini juga diketahui pendapat dan harapan ASN atas metode kerja jika pandemi dinyatakan telah berakhir.
Hampir seluruh responden (93 persen) ASN menyatakan tidak memilih metode WFH secara penuh pasca pandemi berakhir.
Responden lebih condong memilih metode kombinasi WFH-WFO.
Pada kelompok instansi Kementerian dan Pemerintah Provinsi, kombinasi WFH-WFO cenderung dipilih oleh jabatan pelaksana, sementara untuk kelompok instansi LPNK dan Pemerintah Kabupaten/Kota kombinasi WFH-WFO dipilih oleh Jabatan Fungsional tertentu.
Kendala
Selain diperoleh data dari survei yang menunjukkan bahwa ASN responden berkinerja baik, diperoleh juga data bahwa terdapat hal-hal yang menganggu responden selama menjalankan WFH.
Terdapat empat hal utama yang menjadi gangguan bagi responden selama WFH adalah (1) koneksi internet yang terganggu, (2) perbedaan ritme rutinitas kerja, (3) keterbatasan ruang kerja dan (4) komunikasi dan koordinasi dengan atasan dan rekan kerja lebih sulit.
Di sisi lain, responden juga mengungkap bahwa dengan pelaksanaan WFH dapat mengurangi kekhawatiran terhadap virus Covid-19.
Apapun bentuk WFH atau WFO yang akan dijalani para pekerja di saat penurunan dan pascapandemi nantinya, satu hal yang jelas adalah harus bertemunya kepentingan pekerja dan pemberi kerja.
Terlebih soal tatap muka bukanlah sekadar soal kehadiran, namun juga soal kualitas pelayanan publik, soliditas tim kerja, dan ruh semangat dari kegiatan bekerja itu sendiri. (Toto Suryaningtyas)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Fenomena Work From Home dan Kinerja ASN”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/riset/2021/12/04/fenomena-work-from-home-dan-kinerja-asn.