WahanaNews.co, Jakarta - Manfaat dari pengembangan ekosistem food estate diakui tak didapat dalam jangka waktu pendek. Butuh waktu sekitar lima tahun sejak ekosistem dimulai, dan setidaknya tiga tahun jika infrastruktur yang tersedia sudah baik.
Guru Besar bidang sosiologi pertanian dari Universitas Brawijaya, Mangku Purnomo menyebutkan, ada sejumlah kesalahpahaman terkait food estate. Adapun infrastruktur food estate itu mencakup irigasi, gudang pengolahan, hingga jalanan ke sentra produksi dan ke pusat industri.
Baca Juga:
Wamentan Bicara Food Estate dan Cetak Sawah di Rapat Koordinasi Kemenko Perekonomian
"Yang bilang food estate tidak sukses hanya karena satu kali gagal panen itu jelas-jelas tidak mengerti pertanian. Evaluasi baru bisa dilakukan setelah minimal tiga kali siklus panen," kata Mangku dalam wawancara dengan Media Center Indonesia Maju.
Mangku memaparkan, food estate atau lumbung pangan tak semata soal pembebasan lahan dan membangun pertanian. Lebih jauh, adalah perihal pengelolaan tanah pertanian secara terpadu.
"Food estate juga harus diperluas definisinya, tidak selalu diartikan membuka lahan baru, tapi juga kemampuan agregasi produksi. Artinya, jika ada perusahaan yang mampu mengagregasi dan mengatur manajemen untuk produksi pangan sekitar ribuan ton, maka itu bisa disebut food estate," katanya.
Baca Juga:
Soroti Ketahanan Pangan, Luhut Bangga dengan Food Estate Humbang Hasundutan Sumut
Tujuan utama dari kehadiran food estate, adalah menjaga pasokan pangan. Sehingga, hasil pertanian food estate hanya dikeluarkan pada kondisi tertentu, seperti untuk menghindari kelangkaan, menjaga inflasi, maupun saat terjadi bencana.
Dengan begitu, hasil food estate tersebut tak bakal merusak harga pasar dan mengganggu kesejahteraan petani.
"Food estate sebagai upaya menjaga pasokan itu menjadi keniscayaan, fokusnya kepada cadangan pangan. Produk food estate seharusnya tidak masuk pasar umum pangan. Jadi untuk non-komersil, karena tidak bisa langsung berhasil dari sisi teknis agronomis," ujar Mangku.