WahanaNews.co | Pemerintah
Indonesia kini resmi melarang Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi
masyarakat (ormas).
FPI diminta menghentikan setiap
aktivitasnya, karena secara de jure telah dianggap bubar sejak 21 Juni 2019.
Baca Juga:
Habib Rizieq Shihab Singgung Nama Ahok dalam Istighosah Kubro PA 212
"Pemerintah melarang aktivitas
FPI dan akan menghentikan kegiatan yang dilakukan FPI, karena FPI tidak punya
lagi legal standing, baik sebagai ormas maupun sebagai organisasi biasa," ucap
Menko Polhukam, Mahfud MD, dalam
konferensi persnya, Rabu (30/12/2020).
FPI dianggap sudah bubar karena tidak
kunjung memperpanjang izin ormas sejak habis pada Juni 2019.
Karena tidak lagi mengantongi Surat
Keterangan Terdaftar (SKT), maka kini seluruh kegiatan ormas pimpinan Rizieq Shihab itu dilarang.
Baca Juga:
Bahas Normalisasi, Anies: Pembubaran FPI dan HTI Telah Diputuskan dan Disepakati
Dilarangnya FPI ini menambah daftar
organisasi konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah
terlebih dahulu dilarang pemerintah.
Sehingga, sudah dua ormas Islam yang
resmi dibubarkan selama era kepemimpinan Presiden Jokowi, karena dinilai
bertentangan dengan tujuan Pancasila dan UUD 1945.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
Pemerintah mengumumkan pembubaran HTI pada 8 Mei 2017, yang disampaikan Menko Polhukam saat itu,
Wiranto.
HTI merupakan ormas pertama yang
dibubarkan setelah Perppu Ormas diterbitkan.
Dalam pemaparannya, Wiranto
menjelaskan alasan mengapa pemerintah membubarkan HTI.
Pertama, HTI sebagai ormas berbadan
hukum dinilai tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam
proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.
Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI
terindikasi kuat bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri berdasarkan
Pancasila dana UUD 1945, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Masyarakat.
Kemudian, aktivitas-aktivitas yang
dilakukan HTI menimbulkan benturan di masyarakat, dan dapat mengancam keamanan
serta ketertiban masyarakat dan membahayakan keutuhan NKRI.
"Mencermati berbagai pertimbangan
di atas, serta menyerap aspirasi masyarakat, pemerintah perlu mengambil
langkah-langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI," jelas Wiranto.
"Keputusan ini diambil bukan
berarti pemerintah anti terhadap ormas Islam. Namun, semata-mata dalam rangka
merawat dan menjaga keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,"
lanjut dia.
Tak hanya itu, Wiranto menyebut
pemerintah juga mengantongi bukti HTI akan membentuk suatu tata negara baru,
yakni khilafah.
Ideologi khilafah yang disuarakan HTI
ini dinilai bakal meniadakan konsep nation
state.
Pembubaran HTI ini juga diperkuat
dengan telah dilarangnya ormas tersebut di negara-negara mayoritas penduduk
muslim, seperti Arab Saudi, Pakistan, Malaysia, hingga Turki.
Pencabutan status HTI sudah
berdasarkan Peraturan Pengganti Perundang-undangan
Nomor 2 Tahun 2017, yang kemudian disahkan menjadi UU Ormas oleh DPR.
Menanggapi pencabutan status badan
hukumnya, HTI sempat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Pada Mei 2018, hakim PTUN Jakarta
menolak gugatan HTI.
Tak pantang menyerah, HTI kemudian
melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta.
Namun, upaya banding HTI pun tetap kandas.
Front Pembela Islam (FPI)
Selang tiga tahun setelah HTI, Menko
Polhukam Mahfud MD menyampaikan pembubaran FPI sebagai ormas.
FPI dinilai sudah bubar karena tidak
lagi mengantongi SKT, sejak izinnya habis pada 21 Juni 2019.
"Aparat pemerintah, pusat,
daerah, kalau ada organisasi mengatasnamakan FPI, itu dianggap tidak ada dan
ditolak terhitung hari ini karena legal standing tidak ada," tegas Mahfud.
Mahfud menjelaskan, FPI juga sudah
melanggar hukum karena tetap beraktivitas dengan tidak mengantongi SKT.
"Sebagai organisasi FPI tetap
melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban dan keamanan, dan bertentangan
dengan hukum seperti tindak kekerasan, sweeping atau razia sepihak, provokasi
dan sebagainya," beber Mahfud.
Dengan keputusan ini, maka pemerintah
memutuskan FPI telah menjadi ormas terlarang, dan seluruh aktivitas anggotanya
harus segera dihentikan.
Dalam konferensi pers, Mahfud
didampingi Menkumham Yasonna Laoly, Mendagri Tito Karnavian, Kepala KSP
Moeldoko, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Menkominfo Johnny G Plate, Panglima TNI
Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Idham Azis, Kepala BIN Budi
Gunawan, Kepala PPATK Dian Ediana, Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar, dan
Wamenkumham Eddy Hiariej.
Namun, yang jadi pertanyaan, mengapa
FPI baru saat ini dilarang jika sudah dinyatakan bubar pada Juni 2019?
Pada November 2019, Kementerian Agama
sempat mengeluarkan surat rekomendasi perpanjangan izin untuk FPI kepada
Kemendagri.
Menteri Agama sebelumnya, Fachrul
Razi, menyebut, diterbitkannya SKT tersebut lantaran
FPI sudah membuat pernyataan yang isinya setia pada Pancasila, NKRI, dan
berjanji tidak melanggar hukum lagi.
"Tadi ngomong FPI. Saya
mengatakan bahwa saya yang pertama mendorong FPI untuk bisa diberikan izin
lagi," kata Fachrul, Rabu (27/11/2019).
Meski rekomendasi Kemenag telah
keluar, namun Kemendagri masih menimang-nimang
untuk menerbitkan SKT FPI.
Alasannya, ada masalah yang belum
terang benderang, yaitu kata "khilafah Islamiah" dalam AD/ART FPI.
"Di AD/ART itu, di sana disampaikan bahwa visi dan misi organisasi FPI adalah
penerapan Islam secara kafah (sempurna/menyeluruh) di bawah naungan khilafah Islamiah melalui pelaksanaan dakwah, penegakan hisbah, dan
pengawalan jihad," ucap Mendagri Tito, Kamis (28/11/2019).
Sementara itu, Wakil Menkumham Eddy Hiariej
menegaskan, FPI masih belum memenuhi persyaratan untuk memperpanjang SKT
mereka.
"Sampai saat ini, FPI belum
memenuhi persyaratan untuk memperpanjang SKT tersebut. Oleh sebab itu, secara de jure, per 20 Juni 2019 FPI dianggap
bubar," kata Eddy.
Jika ke depannya terjadi pelanggaran
dengan masih menggunakan simbol atau atribut FPI, maka aparat keamanan akan
menindaknya tegas.
"Apabila terjadi pelanggaran,
aparat penegak hukum akan menghentikan seluruh kegiatan yang dilaksanakan
FPI," tutup Eddy. [yhr]