WAHANANEWS.CO, Jakarta - Upaya pemerintah dalam mewujudkan berbagai program prioritas nasional mulai dari pengentasan kemiskinan, peningkatan layanan kesehatan, pemerataan pendidikan, hingga perluasan kesempatan kerja tidak dapat dilepaskan dari pentingnya kerja bersama lintas lembaga.
Pembangunan nasional kini bukan lagi dipandang sebagai tugas satu institusi saja, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh unsur pemerintah, terutama dalam memastikan tata kelola berjalan optimal.
Baca Juga:
Indonesia Tegaskan Komitmen di COP30, PLN Siap Pimpin Transisi Menuju NZE 2060
Dalam konteks ini, Paguyuban Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) memegang peran strategis sebagai penguat ekosistem tata kelola pemerintahan.
Meski tidak selalu terlihat secara langsung, tata kelola menjadi pendorong utama yang menentukan keberhasilan program pembangunan.
Hal tersebut ditegaskan oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Gabriel Lele.
Baca Juga:
Pemerintah Genjot Gerakan Nasional TOS TBC, Targetkan Penurunan Kasus Signifikan pada 2025
Ia menekankan bahwa tata kelola merupakan fondasi penting bagi pembangunan nasional maupun peradaban bangsa.
“Membenahi tata kelola adalah aspek yang sangat fundamental. Jika fondasinya goyang, maka keseluruhan bangunan akan goyang,” ujarnya dalam Rakor Paguyuban PANRB di Bandung, Kamis (20/11/2025).
Paguyuban PANRB beranggotakan Kementerian PANRB, Badan Kepegawaian Negara (BKN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Meski tidak mengelola program teknis secara langsung, paguyuban ini berfungsi memastikan seluruh prioritas presiden dapat dieksekusi dengan baik melalui penyelarasan tata kelola lintas instansi.
Dalam forum tersebut, Gabriel menekankan pentingnya sinergi dan penyelarasan visi (aligned vision).
Ia menjelaskan bahwa proses menuju kinerja bersama (shared outcomes) membutuhkan identifikasi isu, gambaran kondisi ideal, serta prakondisi yang diperlukan.
Ia mengingatkan agar instansi tidak terjebak dalam sekat mandat atau tupoksi masing-masing sehingga kolaborasi tidak terhambat oleh egosektoral.
Menurut Gabriel, setiap aspek dalam prioritas presiden perlu melalui diagnosis menyeluruh, termasuk perencanaan SDM, desain sistem, SOP, mekanisme insentif, hingga strategi implementasi.
Semua elemen harus memiliki hubungan kausal yang jelas agar mendukung pencapaian target.
Jika permasalahan, penyebab, hingga kondisi ideal telah dipetakan, langkah selanjutnya adalah menyusun program, kegiatan, serta anggarannya.
“Ini yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas perencanaan yang nantinya akan mempengaruhi peningkatan kualitas kebijakan yang dibuat,” jelasnya.
Lebih jauh, Gabriel memaparkan tiga poin penting dalam delivery strategy atau desain implementasi shared outcomes.
Pertama, setiap program prioritas harus mengikuti alur aligned vision yang telah disepakati.
Kedua, prinsip distribusi kinerja harus merata ke seluruh unit organisasi secara tuntas sehingga peran tiap unit dapat terukur.
Hal ini, katanya, memunculkan sejumlah pertanyaan dasar: “Siapa melakukan apa? Siapa menghasilkan apa? Kapan? Dengan parameter atau indikator apa?” Seluruhnya menjadi acuan dalam menyusun distribusi beban kinerja dan tanggung jawab organisasi.
Ketiga, ia menyoroti penguatan kerangka NATO Nodality (pengelolaan data, informasi, dan pengetahuan), Authority (kejelasan kewenangan dan aktor), Treasure (alokasi sumber daya yang mengikuti target kinerja), serta Organization (kejelasan struktur unit pelaksana).
Mengakhiri paparannya, Gabriel kembali menegaskan pentingnya sinergi dan kolaborasi. Ia menilai bahwa koordinasi saja tidak memadai.
Paguyuban PANRB perlu mulai menerapkan co-planning dalam penyusunan Renstra, Renja, dan RKA agar aligned vision benar-benar dirumuskan bersama.
"Jadi bener-benar co-planning dan co-design. Yang sifatnya shared outcomes atau aligned vision itu dibuat secara bersama sama. Untuk kemudian dibagi dan disesuaikan dengan mandat organisasi masing-masing," jelasnya.
Selain itu, ia mendorong peningkatan komunikasi rutin, termasuk melalui forum informal, guna mengurangi hambatan personal yang kerap menjadi kendala kolaborasi.
Ia juga menekankan perlunya sistem pendukung yang mendorong semua lembaga untuk bersinergi.
"Saya berharap Paguyuban PANRB bisa menjadi contoh dalam shared outcomes dan cascading yang jelas. Dengan kolaborasi dan sinergi maka diharapkan ini akan terwujud," pungkas Gabriel.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]