Sedangkan lahan gambut kita terluas di dunia dengan hamparan 7,5 juta hektar dan mampu menyerap emisi karbon 55 miliar ton.
Bukan itu saja, luas hutan mangrove Indonesia yang mencapai 3,31 juta hektar mampu menyerap sekitar 33 miliar ton emisi karbon.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Hal ini merujuk pada perhitungan rata-rata kandungan karbon dari hutan mencapai 200 ton C per hektar, dari mangrove 1.082,6 ton C per hektar, sementara lahan gambut 460 ton C per hektar, dan hutan gambut primer 1385,2 ton C per hektar.
Melihat besarnya sumbangan yang diberikan sektor FOLU, Silverius Oscar Unggul, WKU Bidang Lingkungan Hidup & Kehutanan KADIN Indonesia mengatakan kebijakan dan insentif untuk mencapai target net-zero harus dirancang untuk mendukung pembangunan ekonomi dan mata pencaharian yang lebih berkelanjutan di sektor tersebut salah satunya melalui inisiatif Regenerative Forest Business Sub Hub (RFBSH).
"Inisiatif ini berada di bawah payung besar KADIN Net Zero Emissions dan diharapkan bisa menjadi ruang dialog pelaku usaha, pemerintah, dan masyarakat. Inisiatif ini untuk mendukung tata kelola kehutanan sekaligus mitigasi perubahan iklim untuk pembangunan desa hijau yang artinya mengedepankan peran komunitas atau masyarakat sekitar hutan," jelasnya.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Mempertahankan hutan yang utuh adalah cara yang paling cepat dan hemat biaya untuk mempertahankan manfaat hutan, termasuk bentuk penyimpanan karbon yang paling tangguh.
Pada data Kementerian PPN/Bappenas, secara global, investasi sebesar US$ 4,5 miliar per tahun dalam restorasi diproyeksikan akan menciptakan hingga 150.000 lapangan kerja baru dan manfaat ekonomi sebesar US$ 6-12 miliar per tahun.
Dalam skema perhutanan sosial, masyarakat adat tidak hanya dilihat sebatas penerima manfaat kebijakan. Jika didampingi dengan baik, masyarakat dapat mengelola hutan dan menjaga hutan tetap lestari sekaligus mengurangi emisi.