Sementara, Tsunami Ready Community adalah program peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi ancaman tsunami dengan berbasis pada 12 indikator yang telah ditetapkan UNESCO-IOC.
Tujuannya, menyiapkan masyarakat agar senantiasa siap siaga dan tidak gagap dalam menghadapi ancaman gempabumi dan tsunami. Selain itu, guna mewujudkan SAFE OCEAN, salah satu outcome dari UNDecade for Ocean Science.
Baca Juga:
BMKG Hang Nadim: Kota Batam Berpotensi Hujan Sepanjang Hari Ini
Dwikorita mengatakan peristiwa Tsunami Aceh, Tsunami Palu serta Selat Sunda menunjukkan bahwa selain membangun sistem peringatan dini yang cepat, tepat, dan akurat, juga dibutuhkan kesigapan masyarakat dalam merespon peringatan dini tersebut.
Maka dari itu, BMKG juga terus berupaya mewujudkan “Early Warning, Early Action” guna semakin meminimalisir risiko bencana.
“Waktu kedatangan tsunami berbeda-beda di setiap wilayah, sangat lokal. Tsunami Palu hanya butuh 2 menit setelah gempa, sementara di tempat lain waktu tiba tsunami bisa 30 menit atau lebih lama. Oleh karenanya, kami ingin masyarakat bisa memanfaatkan golden time sebaik mungkin untuk menyelamatkan diri. Karenanya, kami mendorong kepada masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir untuk segera berlari ke tempat aman pada elevasi yang lebih tinggi, begitu merasakan goyangan gempa bumi, tanpa harus menunggu peringatan dini,” tambahnya.
Baca Juga:
Hingga 25 November: Prediksi BMKG Daerah Ini Berpotensi Cuaca Ekstrem
Lebih lanjut, Dwikorita mengatakan bahwa BMKG juga terus mendorong pelestarian kearfian lokal masyarakat mengenai bencana alam lewat SLG.
Smong di Simeuleu Aceh, Bomba Talu di Palu, dan Caah Laut di Lebak adalah sedikit dari sekian banyaknya kearifan lokal masyarakat yang bisa dimanfaatkan sebagai mitigasi bencana alam.
Smong di Simeuleu Aceh, tambah dia, bahkan telah terbukti mampu menyelamatkan banyak nyawa saat bencana gempabumi dan tsunami di Aceh, 2004 silam.