Menurut Ade,
penggunaan influencer dan buzzer untuk mensosialisasikan sebuah program atau
kebijakan tertentu merupakan hal yang tak terhindarkan di era digitalisasi
seperti sekarang ini.
"Malah bodoh
sekali ketika kita tahu persis bahwa kita bisa meraih sasaran dengan lebih
cepat dan luas jika menggunakan influencer, tetapi tidak menggunakannya,"
ucapnya.
Baca Juga:
Pembuktian Sulit, Mahfud Akui Kesulitan Tindak Buzzer
Menurut Ade hal
tersebut lumrah, karena terjadi dan siapa pun dapat menggunakan influencer atau
buzzer. Kalaupun ada penindakan sejumlah orang yang mengkritik pemerintah, itu
bukan lantaran karena kritiknya.
Namun, sambung Ade,
mereka yang mengkritik kemudian dipolisikan, karena polisi mengendus ada unsur
pidananya. Tidak seperti Refly Harun, Rocky Gerung sampai Din Syamsuddin yang
masih aman meski sering mengkritik.
Memang ada kasus
pengkritik yang kemudian berakhir di meja hukum, misalnya kasus Ustaz Maaher,
Ahmad Dhani dan Habib Rizieq. Namun dalam tiga kasus ini, menurut Ade, mereka
terjerat unsur pidana.
Baca Juga:
Bamsoet: Humas Kementerian Jangan Kalah Gesit oleh Buzzer
"Saya enggak
ingat orang kritik Jokowi terus kena serangan hukum. Saya kan sering dianggap
buzzer dibayar pemerintah untuk lawan Habib Rizieq, lho kan saya enggak dibayar
pemerintah," cetusnya.
Menurutnya, buzzer
bagian sah dalam demokrasi, "Buzzer ini orang-orang sipil yang bicara membela
yang dianggap benar, ini bukan negara, itu orang-orang sipil," lanjut Ade.
Dalam kasus yang
dijerat dengan UU ITE, Ade melihat polisi sudah berusaha semaksimal mungkin
menjaga dalam koridor demokrasi. "Saya enggak lihat bukti yang cukup bahwa
pemerintah membiarkan aparatnya mengekang kebebasan ekspresi," tegasnya. [qnt]