WahanaNews.co | Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) merilis Pedoman Mekanisme Koordinasi Perlindungan Anak Korban Jaringan Terorisme sebagai dasar koordinasi perlindungan dan pemulihan anak korban jaringan terorisme yang memerlukan kolaborasi lintas sektor, baik dari pemerintah pusat, daerah, lembaga masyarakat, hingga organisasi internasional di Jakarta, Sabtu (19/20/2024).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menyatakan mekanisme koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat, daerah, lembaga masyarakat, dan organisasi internasional sangat penting untuk memberikan perlindungan maksimal bagi anak-anak yang terdampak.
Baca Juga:
Menteri PPPA Kawal Kasus Kekerasan Anak di Banyuwangi
“Pedoman ini bertujuan untuk memaksimalkan peran Kementerian,Lembaga, dan Pemerintah Daerah sesuai dengan mandat PP Nomor 59 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak, serta PP Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak,” kata dia.
Pedoman ini diharapkan dapat memperkuat regulasi nasional dan memastikan respon yang terkoordinasi di tingkat pusat maupun daerah.
Pedoman ini mencakup tiga aspek utama: pencegahan, rehabilitasi, dan reintegrasi, serta penanganan peradilan anak. Fokus utamanya adalah memberikan panduan perlindungan bagi anak-anak yang menjadi pelaku, korban, atau saksi dalam jaringan terorisme.
Baca Juga:
Kemen PPPA Kawal Kasus Penyekapan Anak di Jakarta
Menteri PPPA menegaskan bahwa anak-anak adalah aset berharga bagi masa depan kita dan berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi, termasuk dari jaringan terorisme.
Pedoman ini diharapkan dapat menjadi bukti komitmen pemerintah mewujudkan Indonesia Layak Anak 2030.
Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat antara tahun 2016 hingga 2023, terdapat 29 anak yang terlibat dalam tindak pidana terorisme.
Data ini mencakup anak-anak yang menjadi pelaku maupun korban, menunjukkan betapa seriusnya ancaman ini terhadap generasi masa depan bangsa. Anak-anak yang terlibat sering kali merupakan korban dari propaganda dan doktrin jaringan teroris, serta menghadapi trauma fisik dan emosional yang mendalam.
Sekretaris Utama BNPT, Bangbang Surono mengungkapkan terdapat dua fenomena yang melibatkan anak-anak dalam jaringan terorisme yang menjadi peringatan khusus bagi pemerintah.
“Di Indonesia ada dua fenomena pelibatan anak-anak dalam jaringan terorisme, yaitu pada saat keberangkatan anak-anak ke wilayah ISIS di Suriah pada periode 2014-2018 dan pelibatan anak-anak dalam aksi peledakan bom di Surabaya pada tahun 2018. Beberapa kejadian ini menjadi wakeup call bagi pemerintah dan seluruh elemen bangsa untuk lebih serius melindungi anak-anak dari pengaruh jaringan teroris," ujar Bangbang Surono.
Pemerintah menurut Bangbang juga berupaya melindungi anak-anak dari propaganda ekstremisme berbasis kekerasan yang memanfaatkan kemajuan teknologi.
“Anak-anak yang terkait dengan kelompok teroris sering menghadapi stigma dan diskriminasi. Kita harus memastikan bahwa mereka diperlakukan sebagai korban, bukan pelaku, agar mereka tidak menjadi objek diskriminasi," tegas Bangbang.
Sejak 2018, pemerintah Indonesia juga telah mengambil langkah progresif melalui berbagai inisiatif, termasuk pengesahan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan.
Pedoman ini menekankan pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak sebagai prinsip utamanya.
[Redaktur: Zahara Sitio]