"Perubahan itu juga merupakan pelanggaran serius terhadap norma hukum tertinggi yakni Pancasila, karena telah menghapus peran MPR sebagai Lembaga Tertinggi yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan merombak total sistem demokrasi permusyawaratan-perwakilan, sebagai perwujudan sistem demokrasi Pancasila," ujar LaNyalla.
Perubahan itu juga telah menghapus penjelasan tentang UUD Negara Indonesia. Padahal, penjelasan UUD merupakan bagian tak terpisahkan dari Pembukaan dan pasal-pasal dalam UUD 1945.
Baca Juga:
Ada Benny Tampubolon dan Mangaraja Simanjuntak, Ini Nama 16 Kolonel yang Naik Pangkat Jadi Jenderal
Ada banyak lagi berbagai persoalan yang masih belum disadari oleh masyarakat luas terkait perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 silam. Azas kesejahteraan rakyat yang identik dengan pemerataan ekonomi tak lagi menjadi nafas negara ini dalam menjalankan roda perekonomian.
Pun halnya masyarakat banyak yang belum menyadari terjadi kerusakan kohesi bangsa akibat pemilihan presiden langsung yang diperparah dengan pemberlakuan ambang batas pencalonan atau Presidential Threshold.
"Perubahan itu telah membuka peluang pencaplokan Indonesia oleh Bukan Orang Indonesia Asli. Karena perubahan itu telah mengubah pasal 6 konstitusi dengan menghapus kalimat; Presiden Indonesia ialah orang Indonesia asli, diganti menjadi warga negara Indonesia," tutur LaNyalla.
Baca Juga:
Panglima TNI: Acara Buka Puasa Bersama Pererat Sinergitas dan Soliditas TNI-Polri
"Perubahan itu juga telah memberikan kekuasaan penuh kepada partai politik
untuk menentukan arah perjalanan bangsa ini. Karena faktanya, hanya DPR RI yang merupakan representasi partai politik yang berkuasa di Legislatif," tambah LaNyalla.
DPD RI, ia melanjutkan, tak memiliki kekuasaan sebagai pembentuk undang-undang, meski ia merupakan representasi peserta pemilu perseorangan.
Oleh karenanya, LaNyalla menilai sudah menjadi tugas utama kita semua untuk mempercepat dan memperluas kesadaran ini kepada seluruh masyarakat.