WahanaNews.co | Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar Rapat Majelis Umum
membahas perang Israel-Palestina.
Delegasi Indonesia pun mengikuti
agenda itu.
Baca Juga:
Peringati Bulan Bung Karno, Kader PDI-Perjuangan Jalan Sehat Bareng Tri Adhianto & Ono Surono
Tahukah Anda, pada
September 1960, Indonesia juga mengikuti Sidang PBB.
Saat itulah pidato Bung Karno menyita
perhatian semua delegasi yang hadir.
Dalam salah satu pidatonya, Bung Karno mengutip Al-Quran Surah Al- Hujarat.
Baca Juga:
Bupati Karo Tinjau Proyek Pelebaran Jalan, Usulkan Pemugaran Akses ke Rumah Pengasingan Bung Karno
Sang Fajar membuat mata
dunia terbelalak saat dirinya, dalam salah satu momen berpidato
berjudul To Build the World Anew
(Membangun Tatanan Dunia yang Baru), mengutip Al- Quran Surah Al-Hujarat, tepatnya di ayat
ke-13.
"Kitab Suci Islam mengamanatkan
sesuatu kepada kita pada saat ini. Quran berkata: Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian
dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu sekalian kenal mengenal satu
sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah yang
lebih taqwa kepada-Ku," seru Bung Karno.
Dalam pidato 70 halaman itu, Presiden
Soekarno meminta PBB memasukkan Pancasila dalam piagam PBB yang dianggapnya
sudah ketinggalan zaman.
"Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa
diterimanya kelima prinsip itu dan mencantumkannya dalam piagam, akan sangat
memperkuat organisasi ini," kata Soekarno.
"Saya yakin, ya, saya yakin
seyakin-yakinnya bahwa diterimanya kelima prinsip itu dan dicantumkannya dalam
piagam, akan sangat memperkuat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya yakin, bahwa
Panca Sila akan menempatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejajar dengan
perkembangan terakhir dari dunia. Saya yakin bahwa Panca Sila akan memungkinkan
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghadapi hari kemudian dengan kesegaran dan
kepercayaan. Akhirnya, saya yakin bahwa diterimanya Panca Sila sebagai dasar
piagam, akan menyebabkan piagam ini dapat diterima lebih ikhlas oleh semua
anggauta, baik yang lama maupun yang baru," imbuhnya.
Berikut penggalan pidato Presiden
Soekarno yang mengemukakan Pancasila kepada dunia, mengutip Situs
Kepustakaan Presiden-Presiden.
"Sesuatu" itu kami namakan "Panca Sila". Ya,
"Panca Sila" atau Lima Sendi Negara kami. Lima Sendi itu tidaklah
langsung berpangkal pada Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence.
Memang, gagasan-gagasan dan cita-cita itu, mungkin
sudah ada sejak berabad-abad telah
terkandung dalam bangsa kami.
Dan memang tidak mengherankan bahwa faham-faham mengenai kekuatan yang besar dan kejantanan itu telah timbul
dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad
kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat
kelemahan nasional.
Jadi berbicara tentang Panca Sila di hadapan Tuan-tuan, saya mengemukakan intisari dari peradaban kami
selama dua ribu tahun. Apakah Lima Sendi itu? la sangat sederhana:
Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua
Nasionalisme, ketiga Internasionalisme, ke-empat Demokrasi, dan kelima Keadilan Sosial. Perkenankanlah
saya sakarang menguraikan sekedarnya tentang kelima pokok itu.
Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa saya meliputi orang-orang
yang menganut berbagai macam agama. Ada yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Budha, dan ada yang
tidak menganut sesuatu agama.
Meskipun demikian, untuk delapan
puluh lima persen dari sembilan puluh dua juta rakyat kami, bangsa Indonesia
terdiri dari para pengikut Islam.
Berpangkal pada kenyataan ini, dan mengingat akan berbeda-beda
tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
yang paling utama dalam filsafah hidup kami.
Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan pun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa
kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya,
sehingga mereka menerima Sila pertama ini.
Kemudian sebagai nomor dua ialah Nasionalisme. Kekuatan yang
membakar dari nasionalisme dan hasrat akan kemerdekaan mempertahankan hidup
kami dan memberi kekuatan kepada kami sepanjang kegelapan penjajahan yang lama,
dan selama berkobarnya pejuangan kemerdekaan.
Dewasa ini kekuatan yang membakar itu masih tetap menyala-nyala di dada kami dan tetap memberi kekuatan hidup kepada kami!
Akan tetapi nasionalisme kami sekali-kali bukanlah Chauvinisme.
Kami sekali-kali tidak menganggap diri kami lebih unggul dari bangsa-bangsa
lain. Kami sekali-kali tidak pula berusaha untuk memaksakan kehendak kami
kepada bangsa-bangsa lain.
Saya mengetahui benar-benar bahwa istilah "nasionalisme"
dicurigai, bahkan tidak dïpercayai di negara-negara Barat.
Hal ini disebabkan karena Barat telah memperkosa dan memutar
balikan nasionalisme. Padahal nasionalisme yang sejati masih tetap
berkobar-kobar di negara-negara Barat.
Jika tidak demikian, rnaka Barat tidak akan menantang dengan
senjata chauvinisme Hitler yang agresif.
Tidakkah nasionalisme? Sebutlah jika mau,
patriotisme --mempertahankan kelangsungan hidup semua
bangsa? Siapa yang berani menyangkal bangsa, yang melahirkan dia? Siapa yang
berani berpaling dari bangsa, yang menjadikan dia? Nasionalisme adalah mesin
besar yang menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan internasional kita;
nasionalisme adalah sumber besar dan inspirasi agung dari kemerdekaan.
Nasionalisme kami di Asia dan Afrika tidaklah sama dengan yang
terdapat pada sistem Negara-negara Barat.
Di Barat, nasionalisme berkembang sebagai kekuatan yang agresif
yang mencari ekspansi serta keuntungan bagi ekonomi nasionalnya. Nasionalisme di Barat adalah kakek dari imperialisme, yang bapaknya
adalah Kapitalisme.
Di Asia dan Afrika dan saya kira juga di Amerrka Latin,
nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes terhadap
imperialisme dan kolonialisme, dan suatu jawaban terhadap penindasan
nasionalisme-chauvinis yang bersumber di Eropah.
Nasionalisme Asia dan Afrika serta Nasionalisme Amerika Latin
tidak dapat ditinjau tanpa memperhatikan inti sosialnya.
Di Indonesia kami menganggap inti sosial itu sebagai pendorong
untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Bukankah itu tujuan yang baik yang
dapat diterima oleh semua orang?
Saya tidak berbicara hanya tentang kami sendiri di Indonesia, juga
tidak hanya tentang Saudara-saudara saya di Asia dan Afrika serta Amerika
Latin. Saya berbicara tentang seluruh dunia. Masyarakat adil dan makmur dapat
merupakan cita-cita dan tujuan semua orang.
Mahatma Gandhi pernah berkata: "Saya seorang nasionalis, akan
tetapi nasionalisme saya adalah perikemanusiaan".
Kami pun berkata demikian. Kami nasionalis, kami
cinta kepada bangsa kami dan kepada semua bangsa. Kami nasionalis karena kami
percaya bahwa bangsabangsa adalah sangat penting bagi dunia di masa sekarang ini, dan kami tetap demikian, sejauh mata dapat
memandang ke masa depan.
Karena kami nasionalis, maka kami mendukung dan menganjurkan
nasionalisme di mana saja kami jumpainya.
Sila ketiga kami adalah Internasionalisme. Antara Nasionalisme dan
Internasionalisme tidak ada perselisihan atau pertentangan.
Memang benar, bahwa internasionalisme tidak akan dapat tumbuh dan
berkembang selain di atas tanah yang subur dari nasionalisme.
Bukankah Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa itu merupakan bukti yang nyata
dari hal ini?
Dahulu ada Liga Bangsa-Bangsa. Kini ada
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nama-nama itu sendiri menunjukan bahwa bangsa-bangsa mengingini dan membutuhkan suatu badan internasional, di mana setiap bangsa mempunyai kedudukan yang sederajat.
Internasionalisme sama sekali bukan kosmopolitanisme, yang
merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme, yang anti-nasional dan memang
bertentangan dengan kenyataan.
Sila keempat adalah Demokrasi. Demokrasi bukanlah monopoli atau
penemuan dari aturan sosial Barat.
Lebih tegas, demokrasi tampaknya merupakan keadilan asli dari
manusia, meskipun diubah untuk disesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial yang
khusus.
Selama beribu-ribu tahun dari peradaban Indonesia, kami telah
mengembangkan bentuk-bentuk demokrasi Indonesia.
Kami percaya bahwa bentuk-bentuk ini mempunyai pertalian dan arti
internasional. Ini adalah soal saya bicarakan kemudian.
Akhirnya, Sila yang penghabisan dan yang terutama ialah Keadilan
Sosial. Pada Keadilan Sosial ini kami rangkaikan kemakmuran sosial, karena kami
menganggap kedua hal ini tidak dapat dipisah-pisahkan.
Benar, hanya suatu masyarakat yang makmur dapat merupakan
masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam
ketidak-adilan sosial.
Demikianlah Panca Sila kami. Ketuhanan Yang Maha Esa,
Nasionalisme, Internasionalisme, Demokrasi, dan Keadilan
Sosial.
Tidaklah termasuk tugas saya hari ini untuk menguraikan bagaimana
kami berusaha, dalam kehidupan dan urusan nasional kami, menggunakan dan
melaksanakan Panca Sila. Jika saya menguraikan hal ini, maka ini akan
mengganggu keramah-tamahan badan internasional ini.
Akan tetapi saya sungguh-sungguh percaya bahwa Panca Sila mengandung
lebih banyak daripada arti nasional saja. Panca Sila mempunyai arti universal
dan dapat digunakan secara internasional. [dhn]