Kasus HIV ditemukan pertama kali pada 1960 di Afrika dan diumumkan ke publik di Amerika pada 1981 hingga ditemukan pertama di Indonesia (Bali) pada 1987.
Penanganan HIV selalu dimunculkan dengan wajah diskriminasi. Hal ini sebagai akibat dari cap buruk (stigma) terhadap perilaku yang menimbulkan resiko penularan HIV.
Baca Juga:
Cegah Kanker Leher Rahim, Kemenkes Perluas Imunisasi HPV Gratis
Dalam sebuah survei yang melibatkan Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia dari 10 responden yang diwawancarai, 4 diantaranya mengaku masih takut untuk bergaul dengan orang yang hidup dengan HIV karena alasan takut tertular.
Padahal mereka sudah mendapatkan informasi serta pendidikan terkait penyakit menular.
Sejak didirikan pada 2014 hingga saat ini, Jaringan Indonesia Positif (JIP) telah mendapat pelaporan terjadinya bentuk stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang yang hidup dengan HIV di Indonesia.
Baca Juga:
Dinkes Sebut Pengidap HIV/AIDS di Kabupaten Tangerang Didominasi Karyawan Swasta
Menurut Timotius Hadi, selaku Advocacy Specialist Jaringan Indonesia Positif, beberapa tanggapan telah dilakukan untuk penyelesaian kasus yang ditemukan meliputi penyediaan kanal pengaduan, layanan konseling, pendampingan kasus bagi korban serta melakukan audiensi kepada stakeholder terkait baik level pemerintah (kementrian atau subdinas) maupun swasta termasuk mitra dari Komnas Perempuan.
Selama bulan Mei-Oktober 2023, JIP meneliti indeks stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang dengan HIV di Indonesia dengan menggunakan instrumen penelitian global yang disebut dengan ‘Stigma Index 2.0’.
Instrumen penelitian ini dikembangkan oleh beberapa organisasi tingkat global, seperti Global Network People Living with HIV (GNP+), International Community of Women Living with HIV (ICW), UNAIDS dan International Planned Parenthood Federation (IPPF).