Ia menilai, jika setiap desa mampu mengolah minimal 30 persen sampah anorganik menjadi produk baru, maka dampak lingkungannya akan signifikan sekaligus memperkuat ekonomi lokal.
“Bayangkan kalau setiap desa punya unit produksi daur ulang yang melibatkan warga. Mereka bisa hasilkan produk-produk kreatif yang dijual ke pasar lokal bahkan ekspor. Itu bukan mimpi, tapi arah baru pembangunan desa Indonesia,” tegasnya.
Baca Juga:
Jadi Objek Vital, MARTABAT Prabowo-Gibran Dorong Pemerintah Perbesar Pelabuhan KKT untuk Dukung Kawasan Industri Kaltim dan Otorita IKN
Tohom menyoroti contoh keberhasilan sejumlah komunitas, seperti petugas Unit Penanganan Sampah (UPS) Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta yang mampu mengubah ratusan botol plastik bekas menjadi instalasi seni berbentuk oplet “Si Doel” dalam acara Jakarta Eco Future Fest 2025. Menurutnya, semangat semacam itu perlu ditularkan hingga ke desa-desa.
“Keberhasilan teman-teman di Jakarta itu bukti nyata bahwa sampah bukan akhir dari siklus hidup barang, melainkan awal dari sesuatu yang baru. Desa-desa bisa meniru dengan gaya mereka sendiri,” tambah Tohom.
Tohom yang juga Pengamat Energi dan Lingkungan ini menegaskan bahwa pengelolaan sampah berbasis kreativitas harus dipandang sebagai bagian integral dari kebijakan transisi energi dan pembangunan berkelanjutan.
Baca Juga:
MARTABAT Prabowo-Gibran: Sampah Kini Jadi Rebutan, Bahkan Bisa Jadi Bahan Bangun Rumah
Menurutnya, konsep ekonomi hijau tidak hanya soal energi terbarukan, tetapi juga efisiensi sumber daya dan pemanfaatan kembali limbah menjadi produk bernilai.
“Kalau kita ingin masa depan yang hijau, maka kita harus mulai dari hal sederhana, dari rumah, dari desa, dari sampah yang kita hasilkan sendiri. Pemerintah desa perlu didukung dengan pelatihan, peralatan, dan akses pasar agar ide ‘olah sampah jadi kerajinan tangan’ benar-benar hidup dan menghasilkan manfaat ekonomi nyata,” ujarnya.
Tohom juga mengajak dunia usaha dan lembaga pendidikan untuk ikut mendukung gerakan ini melalui program kolaboratif.