Sebagai wartawan, Harmoko menjalani
karier tersebut selama 23 tahun sejak lulus SMA dan bekerja mula di harian Merdeka pada awal 1960-an.
Selanjutnya, ia pindah di harian Angkatan Bersenjata pada 1964.
Baca Juga:
MPR RI Bakal Kaji Ulang Pasal TAP MPR Terkait Soeharto dan Gus Dur
Hanya berselang setahun, pria
kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, ini berpindah lagi di harian API, yang
dikenal sebagai media yang "Pancasilais" pada waktu itu.
Pada saat yang sama, Harmoko juga
menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa, Merdiko.
Hingga akhirnya pada 1970, Harmoko
bersama Jahja Surjawinata, Tahar S Abiyasa, dan Pansa Tampubolon, menerbitkan surat kabar berbasis di Jakarta, Pos Kota.
Baca Juga:
Kepemimpinan Prabowo Berpotensi Kombinasikan Gaya Soekarno, Soeharto dan Jokowi & Slogan "Penak Jamanku To?"
Jusuf Wanandi, dalam
buku Menyibak Tabir Orde Baru, Memoar
Politik Indonesia 1965-1998, menuliskan, Harmoko
dianggap sebagai salah satu pengkhianat oleh Soeharto di ujung kekuasaannya.
"Lebih dari itu, ia merasa
dikhianati. Ia ditinggalkan oleh teman-teman dan mereka yang ia percaya selama
ini. Itu melukai perasaannya," ucap Jusuf Wanandi, dalam
buku tersebut.
"Para menteri itu munafik. Di
antaranya Ketua DPR Harmoko," tulisnya.