WahanaNews.co | Menteri
Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui, saat ini obat Azitromisin dan
Favipiravir jadi langka dan sulit didapatkan. Akibatnya, harga kedua harga obat
tersebut melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET). Namun, sebenarnya, stok kedua
obat tersebut ada.
Baca Juga:
Ancam Kesehatan, BPOM Amankan Obat Ilegal Bernilai Rp 8,1 Miliar di Jawa Barat
"Kita sudah amati bahwa jumlah obat seperti favipiravir,
azitromisin yang memang sulit didapatkan. Tapi sebenarnya stoknya ada. Ada
sedikit isu didistribusi. Kami sudah bicara juga dengan GP Farmasi, dan kita
sudah menghimbau tolong dibantu, karena masyarakat sangat membutuhkan," kata
Menkes Budi dalam konferensi pers PPKM Darurat Luar Jawa-Bali, disiarkan di
Youtube Perekonomian RI, Jumat (9/7/2021).
Menurutnya, yang paling penting saat ini adalah untuk
membantu masyarakat yang sangat membutuhkan obat-obat tersebut dengan
memperlancar distribusi dan menjaga harga obat di level yang terjangkau oleh masyarakat.
Dia menjelaskan, HET yang terpasang di kemasan obat adalah
harga yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan dengan beberapa
produsen. Kedua harga obat itu adalah harga yang terpasang di sistem e-katalog
pembelian pemerintah ketika melakukan transaksi pembelian obat.
Baca Juga:
BPOM Tingkatkan Asistensi untuk Percepat Penyediaan Obat Berkualitas
"Jadi harga-harga yang ditentukan di harga eceran tertinggi
adalah harga transaksi yang benar-benar
terjadi sebelumnya, antara pemerintah dengan produsen, antara LKPP Lembaga
pembelian pemerintah dengan produsen dan juga dengan BPJS produsen," ujarnya.
Menkes mengakui memang keuntungan yang diperoleh kecil,
namun dia berharap industri-industri Farmasi bisa membantu masyarakat yang
kekurangan dan membutuhkan obat, dengan menyediakan harga obat yang terjangkau
sesuai HET yang telah ditentukan bersama.
"Memang untungnya mungkin akan lebih kecil tapi kita
berharap bahwa teman-teman di industri Farmasi bisa membantu rakyat kita yang
sekarang kekurangan obat. Kita perlu bersama-sama bergotong-royong menciptakan
suasana dimana rakyat bisa tenang mengakses obat," pungkasnya.
PT Kimia Farma mulai memproduksi Favipiravir, obat pasien
Covid-19 yang pertama kali dipakai di China. Meski mulai diproduksi di dalam
negeri, bahan baku obat ini hampir seluruhnya menggunakan bahan baku impor.
"Favipiravir, bahan baku impor, hampir semua
impor," ujar Direktur Utama Kimia Farma Verdi Budidarmo dalam rapat
bersama DPR, Jakarta, Rabu (7/7).
Kimia Farma sendiri merupakan satu-satunya perusahaan dalam
negeri yang bisa mengembangkan obat Covid-19 ini. Secara bertahap, uji terus
dilakukan untuk menghasilkan produk yang sama dengan China.
"Salah satu produk Kimia Farma related Covid-19 adalah
pengembangan produk baru Favipiravir. Favipiravir merupakan produksi pertama di
Indonesia yang diproduksi sendiri oleh holding BUMN Farmasi," katanya.
Obat ini, kata Verdi, sudah didistribusikan ke berbagai
rumah sakit di Indonesia. Sebab, telah mengantongi izin edar serta izin pakai
dari Badan POM.
"Ini sudah didistribusikan ke rumah sakit-rumah sakit.
Kimia Farma sudah memperoleh Emergency Used Authorization (EUA) dari Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)," katanya. [dhn]