WahanaNews.co | Berbeda dengan para
pelaku perbankan, perusahaan-perusahaan pembiayaan (multifinance) mengkhawatirkan dampak dari kebijakan OJK memperpanjang
penundaan pembayaran cicilan kredit (restrukturisasi) akibat pandemi Covid-19
ini terhadap kondisi keuangannya.
Direktur
Independen Adira Finance,
I Dewa Made Susila,mengungkapkan, di tengah krisis ini, kesusahan
itu tak hanya dialami
debitur,
tetapi
juga oleh penyalur pembiayaan. Dalam hal ini, ia mengingatkan, perusahaan pembiayaan memiliki beban pinjaman
kepada pihak ketiga atau bank.
Baca Juga:
Drama Baru Korupsi CSR BI: Satori Dicecar, Heri Gunawan Mangkir Karena Sakit
Jika
terlalu lama tak menerima pemasukan, bisa saja perusahaan pembiayaan mengalami
gagal bayar ataudefault.
"Artinya, proses restrukturisasi
kan
tetap berlangsung untuk konsumen. Kalau perusahaan pembiayaan enggak bayar, kandefault.Jadi, sangat perlu juga memperhatikan kebutuhan perusahaan pembiayaan,"
katanya kepada wartawan, Selasa
(20/10/2020).
Oleh
karena itu, ia berharap OJK dapat melakukan modifikasi terhadap ketentuan
restrukturisasi tersebut pada
tahun depan,
sehingga tak hanya
meringankan beban debitur,
tapi juga memperhatikan kelangsungan ekosistem industri.
Baca Juga:
Ribuan Kantor Bank Tutup! OJK Ungkap Fakta Mengejutkan di Balik Tren Digitalisasi
Dia
menyebut, per September lalu, sudah ada Rp 18,6
triliun pinjaman yang direlaksasi dari 812 ribu debitur. Angka tersebut
merupakansepertigadari portofolio Adira Finance.
Direktur
Keuangan PT Mandiri Tunas Finance (MTF), Armendra, mengaku mendukung langkah OJK memulihkan perekonomian nasional.
Namun, ia memberi catatan agar mekanisme perpanjangan tak berupa "libur bayar".
Ia
berharap akan ada keringanan yang diberikan untuk kreditur yang juga merasakan
dampak dari pandemi. Ia mengusulkan agar relaksasi diberikan dalam bentuk
pembayaran sebagian dari pokok terutang (partial
payment).
Pasalnya,
mekanisme "libur
bayar"
yang telah diberikan selama ini diakuinya memberatkan likuiditas perusahaan.
"Karena
untuk membantu likuiditas kami,
lantaran ada kewajiban
membayar kepada kreditor," katanya.
Dia
menyebut,
pihaknya berada di posisi yang sulit, karena diharuskan memberikan relaksasi kepada debitur, tapi
juga tetap membayar kewajiban,
seperti pinjaman dari bank atau pun obligasi jatuh tempo. Belum lagi biaya
operasi.
Sebagai
gambaran, untuk Mandiri Tunas Finance, jumlah restrukturisasi yang telah
dilakukan per September 2020,
adalah sebesar Rp 13,7 triliun, dengan jumlah debitur 70,652 orang. Jumlah tersebut
di atas 30 persen dari
total debitur perusahaan.
Meski
hingga saat ini likuiditas disebutnya masih terjaga, rasio pembiayaan bermasalah
(non performing financing/NPF) naik menjadi 2,54 persen
pada September 2020. Bahkan, pada puncaknya, NPF sempat membengkak menyentuh
3,71 persen pada Juni 2020.Sebagai catatan, pada kondisi normal,
NPFpada Desember lalu cuma 1,18 persen.
Selama
pandemi, pihaknya lebih selektif dalam memberikan kredit baru. Kredit baru yang
disalurkan selama pandemi berada di kisaran 45 persen. Ini juga dipengaruhi
oleh lesunya permintaan.
Terakhir,
ia berharapOJKmemerhatikan keseluruhan ekosistem pembiayaan.
"Dalam
ekosistem pembiayaan,
banyak yang terlibat.
Ada nasabah,multifinance,
sisi asuransi, sisibiller.
Jadi, prinsipnya, harus ada
satu kesatuan pemulihan ekonomi yang saling berkaitan," kata dia.
Sementara
itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno, menyarankan para perusahaan pembiayaan untuk
mengajukan keringanan dari pihak ketiga jika restrukturisasi diperpanjang dan
dirasa memberatkan keuangan perusahaan.
"Kalau
buat debitur,
diberikan napas. Perpanjangan kan bukan berarti debitur tidak membayar apa-apa. Kebanyakan
yang direstrukturisasi,
yang saya ketahui,
bunga tetap dibayar," katanya.
Meski
tak dapat memukul rata seluruh perusahaan karena sistem restrukturisasi yang
dilakukan berbeda-beda, secara keseluruhan, ia menyebut restrukturisasi memukul
likuiditas sekaligus mengangkat NPF industri.
Dia
mencatat, pada Agustus lalu,
NPF industri secara kotor berada di kisaran 5,2 persen, turun dari Juli 2020
yakni 5,6 persen. Pada keadaan normal, dia bilang NPF berada di kisaran 2
persen. Sedangkan, laba industri merosot 56 persen dibandingkan dengan tahun
sebelumnya.
Diketahui,
Ketua OJK,
Wimboh Santoso,
memastikan perpanjangan program restrukturisasi yang tertuang dalam Peraturan
OJK nomor 11 tahun 2020. Sejak awal, kebijakan
penundaan cicilan kredit masyarakat tersebut memang didesain bisa diperpanjang
jika diperlukan.
"Memang
perlu diperpanjang.
Silakan, kalau ada nasabah yang sudah jatuh tempo, kalau memang mau direstrukturisasi,
direstrukturisasi saja,
dan masih berlaku sampai Februari 2021. Bahkan, mungkin ada perpanjangan lebih
dari itu," katanya, saat berbicara dalam webinar Capital Market Summit Expo, Senin (19/10/2020).
Adapun
total restrukturisasi di lembaga pembiayaan (multifinance), hingga 13 Oktober 2020, tercatat mencapai Rp 175,21 triliun. Kabar baiknya, jumlah pengajuan restrukturisasi
mulai berkurang dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. [qnt]