WAHANANEWS.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, menilai bahwa Pemilu Serentak 2024 menjadi ajang paling brutal dan transaksional dalam sejarah pemilu Indonesia.
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama akademisi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, pada Rabu (5/3/2025).
Baca Juga:
Beban Terlalu Berat, Pakar: Pilpres dan Pilkada Jangan Digelar Bersamaan
"Teman-teman yang hadir di sini adalah pejuang demokrasi yang luar biasa, karena hampir semua sepakat bahwa Pemilu 2024 adalah pemilu paling brutal dan penuh transaksi politik," ujar Dede di Kompleks Parlemen Senayan.
Dede mengungkapkan perlunya revisi Undang-Undang Pemilu, yang tidak hanya menyangkut sistem penghitungan suara, daerah pemilihan, dan ambang batas parlemen, tetapi juga semakin maraknya politik uang yang kian meningkat setiap pemilu.
"Isu yang harus dibahas bukan hanya soal sistem pemilu, tetapi juga mengenai money politics dan meningkatnya biaya politik yang semakin besar dari tahun ke tahun," jelasnya.
Baca Juga:
KPU Kota Bekasi Gelar FGD Evaluasi Pilkada 2024, Ali Syaifa Sampaikan Hal Ini
Ia menyoroti bahwa di beberapa daerah pemilihan, atmosfer Pemilihan Legislatif terasa seperti Pemilihan Presiden, dengan transaksi politik yang begitu masif.
Oleh karena itu, DPR mengundang berbagai pemangku kepentingan demokrasi dan pemilu untuk berdiskusi.
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (UI), Delia Wildianti, menilai bahwa Pemilu Serentak 2024 gagal mencapai tujuan utama dalam memberikan pendidikan politik bagi pemilih.
Menurutnya, keberhasilan pemilu selama ini hanya diukur dari tingkat partisipasi, tanpa memperhatikan kualitas literasi politik masyarakat.
"Yang menjadi perhatian kami adalah bahwa Pemilu Serentak tidak mencapai tujuannya. Jika berbicara tentang literasi pemilih, ternyata hasilnya masih jauh dari harapan," ujar Delia dalam RDPU dengan Komisi II DPR RI.
Ia menambahkan bahwa banyaknya pilihan dalam Pemilu Serentak justru membebani pemilih dan membuat mereka kurang memahami calon yang akan dipilih.
"Seharusnya, pemilu meningkatkan literasi politik masyarakat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Partisipasi memang tinggi, tetapi pemilih belum tentu memahami dengan baik pilihan mereka," tegasnya.
Tak hanya gagal menciptakan pemilih yang lebih cerdas, Delia juga menilai Pemilu Serentak sangat merugikan calon anggota legislatif.
"Para caleg tidak hanya harus berkampanye untuk diri sendiri, tetapi juga untuk calon presiden. Bagi mereka yang bukan dari partai penguasa, tantangannya menjadi lebih berat," jelasnya.
Lebih jauh, Delia mengungkapkan bahwa Pemilu Serentak justru meningkatkan praktik pembelian suara (vote buying).
"Biaya politik di Indonesia sangat mahal, pemilu semakin brutal, dan itu dirasakan langsung oleh para peserta pemilu. Banyak dari mereka yang merasakan betapa besarnya ongkos politik untuk mencalonkan diri," pungkasnya.
[Redaktur: Rinrin Kaltarina]