WahanaNews.co | Ini
fakta mengejutkan yang perlu antisipasi. Dalam penelitiannya, ilmuwan asal Cina
Li Lanjuan bersama rekannya dari Universitas Zhejiang menemukan virus corona
SARS-Cov-2 bisa bermutasi hingga 30 varian. Parahnya, sebanyak 19 dari 30
varian tersebut adalah jenis baru.
Baca Juga:
IDI Ingatkan Masyarakat Agar Tidak Abaikan Risiko Penularan COVID-19
Berdasarkan hasil uji laboratorium, penelitian Li juga
menemukan kalau mutasi dari virus corona dapat menciptakan jenis virus yang
lebih mematikan dibanding jenis lain. "SARS-Cov-2 telah memperoleh mutasi yang
mampu secara substansial mengubah patogenisititasnya," kata Li, seperti dikutip
dari BBC.
Kecepatan mutasi virus corona ini sekitar satu mutasi per
bulan yang diperkirakan sudah ada 10 ribu strain yang diteliti para peneliti
seluruh dunia. Sehingga tercatat sudah ada 4.300 mutasi berdasarkan Pusat Bio
Informasi Nasional Cina.
Ia menilai strain yang berbeda kemungkinan bisa memberi
dampak penyakit Covid-19 yang berbeda di dunia. Menurut Li, saat ini kemampuan
mutasi virus ini masih dianggap remeh oleh peneliti dunia.
Baca Juga:
Varian Covid-19 Terbaru, WHO Peringatkan Potensi Bahaya Arcturus
Menurut Profesor Zhang Xuegong, kepala divisi bio
informatika dari Universitas Tsinghua, teknik ini bisa sangat efektif untuk
melacak mutasi virus. Meski ia menyebut pendekatan tersebut sangat mahal dan
makan waktu.
Menurut jurnal ilmiah yang ditulis Li dan peneliti lain,
mereka menganalisa strain virus yang diisolasi dari 11 pasien Covid-19 dipilih
secara acak dari kota Hangzhou. Kota tersebut dipilih karena terdapat 1.264
pasien positif Covid-19.
Sampel yang diambil pada pengujian ini tergolong sedikit.
Biasanya studi terkait mutasi virus melibatkan ratusan hingga ribuan sampel
virus. Kemudian mereka menguji coba seberapa efisien strain virus tersebut
dapat menginfeksi dan membunuh sel. Hasilnya, mutasi yang dianggap mematikan
pada pasien itu juga telah ditemukan pada sebagian besar pasien yang tinggal di
Eropa.
Sementara berdasarkan studi terpisah, disebutkan kalau
varian virus yang ada di New York mirip dengan virus yang ada di banyak negara
Eropa. Sehingga, diperkirakan virus di kota itu berawal dari Eropa.
Li pun menegaskan bahwa mutasi yang membuat virus corona
lebih lemah itu tidak berarti risiko infeksi jadi tidak lebih mematikan bagi
semua orang. Sebab, berdasarkan penelitian mereka, dua pasien berusia 30-an dan
50-an tahun yang terjangkit virus yang tak terlalu ganas, tetap menderita sesak
napas. "Studi ini menghasilkan gambaran yang tidak terduga yang ditunjukkan
oleh segelintir pasien yang kami uji bahwa ada perbedaan dari strain virus yang
sebagian besar masih diremehkan," ujar Li.
[qnt]