Dengan kata lain, kliennya akan kesulitan mengungkap kebenaran perkara ini apabila tidak dijadikan sebagai JC dan mendapatkan perlindungan dari LPSK.
"Seperti kasus sebelum ini, ada kesulitan menyelesaikan kasus yang melibatkan pimpinan dan bawahan. Soalnya seperti kata Pak Menko Polhukam (Mahfud MD) ada hambatan psiko-hirarki (posisi Teddy dan Dody adalah pimpinan-bawahan) dan psiko-politis (sebagai jenderal aktif, Pak Teddy masih memiliki jejaring yang luas). Itu sebabnya, kami sungguh berharap kepada LPSK dan pejabat negeri ini untuk memberi perhatian lebih terhadap kasus ini," jelas Adriel.
Baca Juga:
Kasus Kematian Vina-Eki Cirebon: Komnas HAM Rekomendasi Polri Evaluasi Polda Jabar-Polres
Adapun berdasarkan Undang-Undang (UU) 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, syarat untuk menjadi JC di antaranya bukan menjadi pelaku utama dalam perkara atau kejahatan tersebut.
Juga keterangan saksi pelaku atau JC, dinilai penting untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.
"Dan JC itu bisa tersangka, terdakwa atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana yang sama," katanya.
Baca Juga:
Pemantauan Kasus Vina dan Eki Dirampungkan Komnas HAM
Berdasarkan UU itu kata Adriel, setelah mendengar keterangan kliennya, maka AKBP Dody dkk dinilai bukan pelaku utama dalam perkara ini.
Ada beberapa indikasi yang menggambarkan hal itu, antara lain perintah yang diterima kliennya dan setelah perkara ini masuk dalam proses penyidikan, ada upaya-upaya oleh pihak-pihak tertentu menghalangi klien dan keluarganya untuk menerangkan secara terang benderang perkara ini.
"Kami yakin AKBP Dody dkk memiliki keterangan yang bisa membongkar perkara ini secara terang benderang. Karena itulah kami mengajukan permohonan JC sekaligus perlindungan kepada LPSK. Kami berharap LPSK bisa mengabulkan permohonan dari klien kami ini agar pengungkapan kasus ini bisa dilakukan secara transparan," jelasnya.