WahanaNews.co | Penetapan tersangka suap kepada Hakim Agung, Sudrajat Dimyati berbuntut panjang.
Kini, panggilan 'Yang Mulia' bagi Hakim Agung pun disorot dan menuai pro-kontra.
Baca Juga:
Raih Dukungan 30 Suara, Hakim Agung Sunarto Terpilih Jadi Ketua Mahkamah Agung 2024-2029
Sorotan atas panggilan 'Yang Mulia' untuk para hakim di Mahkamah Agung awalnya datang dari Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Tumpa.
Dia mengaku prihatin atas kasus yang menjerat Hakim Agung Sudrajad Dimyati.
Berkaca dari kasus tersebut, dia pun meminta agar masyarakat berhenti memanggil para hakim agung 'Yang Mulia'.
Baca Juga:
Gazalba Saleh Bantah Lakukan Pencucian Uang
"Betul (setop panggilan yang mulia). Dari dulu saya memang tidak setuju panggilan itu," kata Harifin Tumpa dilansir dari detikcom, Senin (26/9/2022).
Harifin Tumpa sudah mengingatkan agar panggilan yang mulia itu disetop sejak Juni 2020.
Ada kegelisahan yang mendalam mengapa Harifin Tumpa menolak hakim dipanggil yang mulia.
Dirinya sendiri pun menolaknya. Namun belakangan panggilan yang mulia kerap digunakan, bahkan dibuat aturan tertulis agar siapa pun memanggil yang mulia. Bahkan, di luar sidang pun dipanggil yang mulia.
"Hakim itu hanya manusia biasa. Hanya ia diberi amanah," ucap Harifin Tumpa, yang menjabat sebagai Ketua MA 2009-2012.
Kegelisahan itu pun terbukti dengan ditahannya Hakim Agung Sudrajad Dimyati oleh KPK atas dugaan korupsi suap.
Hakim agung yang menjadi penjaga final keadilan harus berurusan dengan lembaga antikorupsi itu.
Padahal putusan hakim agung final dan mengikat serta tidak bisa diubah lagi.
"Kami semua korps hakim turut merasa tercemar dengan ulah segelintir manusia yang masuk korps hakim agung. Mudah-mudahan ini yang pertama dan terakhir," kata Harifin Tumpa.
Alasan Panggilan 'Yang Mulia' Harus Dihentikan
Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Tumpa dan para mantan hakim agung lainnya pun membeberkan alasannya.
Permintaan ini ditulis dalam sepucuk surat oleh Kerukunan Keluarga Purnabakti Hakim Agung (KKPHA) dan Persatuan Hakim Indonesia (Perpahi).
Surat itu telah dikirim kepada Ketua MA Syarifuddin.
"Kami memohon maaf bahwa usulan atau kesimpulan kami ini tidak bersifat mutlak. Hanya sebagai keprihatinan kami sebagai para pensiunan atas adanya pendapat masyarakat yang bersifat sindiran yang dikaitkan dengan sebutan/sapaan 'Yang Mulia' kepada para hakim, tetapi di dalam kenyataannya masih banyak hakim yang dalam memeriksa dan memutus perkara belum mencerminkan sikap 'Yang Mulia," ujar Harifin kepada wartawan, Kamis (25/6/2020).
Menurut Harifin, bila dirujuk peraturan tertulis, tidak ada satu pun regulasi yang mewajibkan panggilan 'Yang Mulia'. Bahkan, dalam Ketetapan MPRS RI No XXXI/MPRS/1966 telah mengatur penggantian sebutan 'Paduka Yang Mulia' (P.Y.M), 'Yang Mulia' (Y.M), Paduka Tuan (P.T) dengan sebutan Bapak/Ibu atau Saudara-Saudari. Berikut kutipan lengkap Ketetapan MPRS RI No XXXI/MPRS/1966:
Bahwa untuk mewujudkan kembali kepribadian Bangsa secara konsekuen berdasarkan Pancasila dan untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme serta kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, perlu menetapkan dalam bentuk Ketetapan MPRS penggantian sebutan 'Paduka Yang Mulia', 'Yang Mulia', 'Paduka Tuan' menjadi 'Bapak/Ibu atau Saudara/Saudari'.
Demikian juga dalam Pasal 6 Peraturan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 19 Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan diatur mengenai kewajiban para pihak yang beperkara, saksi, ahli, dan pengunjung sidang, untuk bersikap tertib dan hormat kepada hakim dalam persidangan.
"Namun tidak tercantum adanya peraturan yang mengharuskan seseorang yang menghadiri persidangan untuk menyebut hakim dengan sebutan 'Yang Mulia'," ujar Harifin, yang mengadili perkara Prita Mulyasari untuk kasus perdatanya itu.
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) MA No 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan, diatur pengunjung sidang wajib bersikap sopan, tertib, tidak merokok, tidak berbicara satu sama lain, tidak membawa senjata dan lain-lain.
"Namun tidak tertera kewajiban para pihak yang berperkara, penasihat hukum, saksi, ahli maupun pengunjung lain untuk menyebut hakim dengan sebutan 'Yang Mulia'," cetus Harifin.
Bahkan, kata Harifin, Peraturan Menteri Kehakiman Tahun 1983 mengatur bahwa penyebutan kepada hakim hanyalah 'Saudara Hakim yang Terhormat' dan bukan 'Yang Mulia'.
"Dari berbagai penelusuran yang kami peroleh sebagaimana disebutkan di atas, dan karena banyaknya kelakar di masyarakat, yang bersifat sindiran dengan sebutan 'Yang Mulia' bagi hakim, sedangkan perilakunya tidak mencerminkan sikap 'Yang Mulia', maka kami KKPHA dan Perpahi merasa tidak nyaman dan prihatin," ujar Harifin.
"Maka kami mengusulkan agar Mahkamah Agung RI sebagai lembaga tertinggi peradilan mempelajari dan mempertimbangkan lebih lanjut apakah sebutan atau penggunaan 'Yang Mulia' bagi para hakim dalam persidangan masih perlu untuk diteruskan?" pungkas Harifin.
Mahfud Md Turut Berkomentar
Menko Polhukam Mahfud Md turut memberikan respons atas permintaan mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin.
Dia menyebut pernyataan Harifin itu pasti disampaikan atas dasar kekecewaannya terhadap jajarannya.
"Saya hormat kepada Pak Harifin Tumpa. Beliau dulu teman seangkatan saya memimpin lembaga negara era SBY periode kedua. Beliau bersih dan berintegritas. Usulnya agar hakim agung tak lagi disebut 'yang mulia' menurut saya merupakan ekspresi kekecewaannya kepada teman-teman sekorpsnya yang sangat mengotori kemuliaan jabatan hakim agung," kata Mahfud dilansir dari detikcom, Senin (26/9).
Mahfud belum menyimpulkan usulan agar hakim agung untuk tidak lagi disebut sebagai yang mulia.
Namun Mahfud memiliki pandangan hakim agung yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) disebut 'yang busuk' atau 'yang terhina'.
"Saya sendiri belum sampai menyimpulkan bahwa hakim agung sebagai korps tidak lagi disebut yang mulia, tetapi kepada oknum hakim agung yang kena OTT saya setuju disebut 'yang busuk' atau 'yang terhina'," ujarnya. [rin]