WahanaNews.co, Jakarta - Menggantikan posisi Anwar Usman yang sebelumnya terbukti melanggar etik berat terkait konflik kepentingan dalam putusan MK soal syarat usia cawapres, hakim Konstitusi Suhartoyo terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara Saldi Isra tetap pada jabatannya sebagai Wakil Ketua MK.
Pemilihan Ketua MK tersebut berdasar hasil musyawarah di dapat dua nama muncul yakni Suhartoyo dan Saldi Isra.
Baca Juga:
Peran Anwar Usman di Sengketa Pilkada 2024 Masih Dipertimbangkan MK
Para hakim sepakat dua nama tersebut berdiskusi kembali untuk menentukan siapa yang menjadi Ketua MK.
"Sembari melakukan refleksi kami berdua, dengan dorongan ada semangat memperbaiki MK, akhirnya kami berdua sampai pada putusan bahwa yang jadi Ketua MK ke depan adalah Bapak Suhartoyo. Dan saya tetap menjalankan tugas sebagai wakil ketua," ujar Saldi Isra dalam konferensi pers, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (9/11/2023).
Melansir CNN Indonesia Kamis (9/11/2023), Suhartoyo lahir di Sleman, Yogyakarta, 15 November 1959. Ia menempuh pendidikan sarjana di Universitas Islam Indonesia pada 1983. Lalu, ia melanjutkan pendidikan pascasarjana di Universitas Tarumanegara pada 2003. Pada 2014, Suhartoyo mengenyam pendidikan doktor di Universitas Jayabaya.
Baca Juga:
Putusan PTUN yang Menangkan Anwar Usman Dinilai Pakar HTN Banyak Kelemahan
Sebelum berkiprah di MK, Suhartoyo malang melintang sebagai hakim pengadilan. Ia pertama kali bertugas sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Bandar Lampung tahun 1986.
Selain itu, Suhartoyo juga dipercaya menjadi Hakim PN Curup (1989), Hakim PN Metro (1995), Hakim PN Tangerang (2001), Hakim PN Bekasi (2006) sebelum akhirnya menjabat sebagai hakim di Pengadilan Tinggi Denpasar.
Ia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua PN Kotabumi (1999), Ketua PN Praya (2004), Wakil Ketua PN Pontianak (2010), Ketua PN Pontianak (2010). Lalu Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011) dan Ketua PN Jakarta Selatan (2011).
Akhirnya, Suhartoyo menjadi anggota hakim MK pada 7 Januari 2015 untuk menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi. Ia merupakan keterwakilan hakim dari Mahkamah Agung.
Suhartoyo adalah salah dari empat hakim yang berbeda pendapat (dissenting opinion) pada sidang gugatan capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
"MK seharusnya juga tidak memberikan kedudukan hukum kepada Pemohon karena tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan, sehingga dalam amar putusan a quo, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," kata Suhartoyo membacakan dissenting opinion-nya.
Sebelumnya, Suhartoyo juga salah satu dari empat hakim yang memiliki pendapat berbeda terhadap putusan MK tentang UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi UU tetap konstitusional.
Ia bersama Wahiddudin Adam, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih menyampaikan dissenting opinion terkait gugatan UU Ciptaker. Namun, pendapat tersebut tidak dibacakan maupun ditampilkan dalam sidang.
Selain itu, ia juga dissenting opinion dalam gugatan Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen, pada 2022 lalu.
Suhartoyo dalam penjelasannya menilai bahwa ambang batas atau presidential threshold 20 persen harus dihapuskan. Namun, suaranya kalah dengan suara mayoritas hakim yang masih memilih memberlakukan ambang batas 20 persen.
[Redaktur: Alpredo Gultom]