Menurutnya, hitungan sementara dari Kementerian ESDM menunjukkan listrik berbasis sampah bisa diproduksi dengan harga US$ 13 sen per kWh, jauh lebih murah dibanding listrik berbahan bakar diesel yang mencapai lebih dari US$ 30 sen per kWh.
“Artinya, secara ekonomi ini lebih rasional dan lebih ramah lingkungan,” jelasnya.
Baca Juga:
Tak Cukup Infrastruktur, MARTABAT Prabowo-Gibran Minta Pemerintah Cetak SDM Lewat SMK Pengolahan Sampah dan Energi
Tohom yang juga Pengamat Energi dan Lingkungan ini menilai, keberhasilan PLTSa akan memberi dampak ganda. Pertama, mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang mahal dan tidak ramah lingkungan.
Kedua, mengatasi persoalan sampah perkotaan yang volumenya terus meningkat. Ketiga, membuka lapangan kerja baru dari sisi operasional maupun rantai pasok.
“Jadi manfaatnya bukan hanya listrik, tapi juga kebersihan kota, kesehatan masyarakat, dan ekonomi lokal,” tegasnya.
Baca Juga:
Pemerintah Terus Genjot, ALPERKLINAS Apresiasi Rencana Pemda Karawang Ubah Sampah Jadi Energi Listrik
Ia menambahkan, masyarakat tidak perlu skeptis dengan target ambisius ini. Sejumlah negara sudah berhasil mengembangkan PLTSa dengan skala besar, seperti Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa.
Indonesia, kata dia, justru punya potensi lebih besar karena produksi sampahnya tinggi dan tersebar di berbagai kota besar.
“Tinggal kemauan politik yang kuat, teknologi yang tepat, dan dukungan masyarakat. Tiga hal ini jika bersinergi, proyek 18 bulan bisa jadi sejarah baru,” pungkasnya.