WahanaNews.co | Pengamat sekaligus Direktur Halal Institute Asep Sa’duddin Sabilurrasad, mengatakan banyak kekeliruan terkait label halal yang saat ini jadi polemik. Termasuk adanya anggapan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak diikutkan dalam proses pemberian sertifikasi kehalalan sebuah produk.
Asep Sa'dudin lantas menjelaskan, terkait fungsi Majelis Ulama Indonesia dalam sertifikasi halal ini, bahwa MUI masih sangat berperan dalam proses tersebut.
Baca Juga:
Sertifikasi Halal Timbulkan Perdebatan, Pengamat: Jangan Salah Paham, Peran MUI Tidak Hilang
Asep Sa’duddin meluruskan kabar yang bersebaran bahwa fungsi MUI dalam sertifikasi halal itu dihilangkan alias tidak lagi dilobatkan. Hal itu, menurutnya, hanya persoalan ketidaktahuan proses sertifikasi halal.
Apalagi, lanjut dia, ada anggapan masyarakat halal diambil langsung oleh negara, menihilkan peran ulama dan masyarakat atau lembaga seperti MUI.
“Yang salah dipahami orang adalah menganggap bahwa otoritas keagamaan diambil alih oleh negara. Bukan seperti itu, MUI tidak dihilangkan,” paparnya dalam acara Apa Salahnya Halal Diurus Negara yang digelar Bincang Syariah secara daring, Senin malam (14/3/2022).
Baca Juga:
Bukhori Yusuf Sebut Logo Halal Baru Tidak Cukup Memberi Kejelasan "Halal"
MUI, kata dia, tetap dilibatkan sebagai satu satunya otoritas yang boleh menerbitkan fatwa terkait halal.
Penjelasan tersebut mengacu pada fungsi MUI, sesuai dengan ketetapan yang tertuang dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal sebagai pelaksanaan amanat Pasal 37 UU Nomor 33 Tahun 2014 sebagai pemeriksa dan pemberi fatwa halal.
Ia juga menjelaskan bahwa Sertifikasi halal merupakan bagian religious freedom (kebebasan beragama), sama halnya dengan kebebasan untuk berkeyakinan, beragama, dan menganut kepercayaan yang diyakini.
"Sebagai bagian dari kebebasan menjalankan kewajiban agama adalah mengkonsumsi produk yang halal. Sertifikasi halal ini bagian dari payung besar religious freedom,” paparnya.
Namun harus diakui, kata dia, saat ini religious freedom lebih banyak memotret aspek pendirian rumah ibadah, isu status KTP dan semacamnya, tapi soal halal jarang disorot.
Padahal faktanya, di negara besar yang ada Eropa dan Amerika halal ini dianggap sebagai religious freedom, yang setiap makanannya ada logo halal.
“Jadi pengambil alihan sertifikasi halal bukan mengancam demokrasi, ini bagian dari demokrasi,” tegasnya.
Sebelumya, label halal baru yang diluncurkan secara resmi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Halal (BPJH) Kemenag mengeluarkan logo yang secara resmi akan diberlakukan secara nasional mulai 1 Maret 2022.
Label halal baru tersebut lantas menjadi perdebatan, ada yang menudingnya terlalu jawasentris hingga soal ketidakbacaan kata 'halal' dalam logo tersebut, termasuk di dalamnya tudingan MUI tidak lagi dilibatkan dalam proses legalisasi halal. [qnt]