WAHANANEWS.CO, Jakarta – Organisasi Lingkungan, Sungai Watch menyampaikan sampah plastik termasuk botol dan gelas bekas kemasan air minum masih menjadi permasalahan lingkungan di tanah air.
Sampah-sampah ini banyak ditemukan mengotori dan mencemari sungai.
Baca Juga:
Hari Peduli Sampah Nasional 2025: Kolaborasi Menuju Indonesia Bebas Sampah
Dari banyaknya temuan sampah plastik yang mencemari sungai tersebut justru didominasi oleh produk kemasan plastik bermerek, salah satunya perusahaan market leader Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang cukup terbesar di Indonesia.
Dalam Brand Audit Report 2024, Sungai Watch mencatat telah mengumpulkan 600 ribu item sampah dari berbagai sungai di Bali dan Banyuwangi.
Dari jumlah tersebut, sekitar 17 persen atau sekitar 102 ribu item berasal dari produk perusahaan market leader AMDK, terutama dalam bentuk gelas dan botol plastik.
"Selama empat tahun, perusahaan ini konsisten berada di peringkat pertama sebagai penyumbang sampah," tulis laporan audit tersebut.
Audit tahun ini menjadi yang terbesar bagi Sungai Watch dengan cakupan wilayah yang lebih luas hingga ke Banyuwangi.
Baca Juga:
Menteri LH Dorong Pemprov DKI Sosialisasi Pengolahan Sampah dan Gratiskan Pemilahan
Meskipun Grup Wings tercatat sebagai penyumbang sampah terbesar secara keseluruhan dengan 52.600 item dari berbagai merek, perusahaan market leader AMDK juga menduduki posisi teratas sebagai penyumbang sampah terbesar dari satu merek dengan 39.480 item sampah.
Sungai Watch juga menyoroti perusahaan market leader AMDK tersebut yang mengklaim produk mereka dapat didaur ulang 100 persen.
Faktanya perusahaan tersebut, menurut Sungai Watch, tidak memiliki sistem deposit, pengumpulan, dan daur ulang yang memadai untuk memastikan siklus akhir dari produknya.
"Sebagian besar gelas dan botol plastik berakhir di sungai, pantai, dan hutan mangrove," ujar Sam Bencheghib dalam sebuah video saat merilis Brand Audit Report 2024.
"Kami tidak bisa terus-menerus membersihkan sungai dari sampah produk kalian. Ini saatnya untuk benar-benar melakukan perubahan," lanjutnya.
Laporan ini juga menyoroti bahwa perusahaan market leader AMDK masih sangat bergantung pada kemasan berukuran kecil yang sulit dikumpulkan dan didaur ulang.
Sepertiga dari sampah yang ditemukan berupa gelas plastik 220 ml. Fakta ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara klaim ramah lingkungan perusahaan dengan realitas di lapangan.
Menariknya, perusahaan tersebut diketahui mulai menghapus produk gelas plastik 220 ml dari situs resminya dan menggantinya dengan produk 'Cube' berukuran serupa.
Namun, produk gelas plastik lama masih banyak ditemukan di pasaran.
Selain itu, audit Sungai Watch menemukan adanya perbedaan harga yang mencolok. Gelas plastik 220 ml dijual seharga Rp1.000, sedangkan produk 'Cube' dengan volume serupa dijual Rp2.000. Bahkan, pada Februari 2025, volume air dalam kemasan gelas plastik menyusut dari 220 ml menjadi 200 ml tanpa adanya perubahan harga.
"Konsumen sekarang membayar sama, tetapi mendapatkan lebih sedikit," ungkap laporan tersebut.
Sungai Watch menilai bahwa perubahan kemasan ini tidak memberikan dampak signifikan terhadap pengurangan sampah plastik.
Tanpa adanya sistem pengelolaan sampah yang memadai, perubahan ini justru memperkuat ketergantungan terhadap plastik yang sulit didaur ulang.
"Ketika perusahaan mengklaim akan mengurangi polusi plastik, publik mengharapkan aksi nyata, bukan sekadar perubahan kosmetik," mengutip isi laporan Sungai Watch dikutip dari Medcom.
[Redaktur: Zahara Sitio]