“Karena menimbulkan dampak langsung, surat edaran tersebut dapat diuji kesesuaiannya dengan undang-undang yang lebih tinggi, seperti UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” ujarnya.
Latifah juga menyoroti pelanggaran terhadap hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999, yang menjamin kenyamanan, keamanan, keselamatan, hak memilih, dan mendapatkan barang sesuai nilai tukar serta informasi yang benar.
Baca Juga:
Harus Tepat Sasaran, ALPERKLINAS Dukung Pemerintah dan PLN Hanya Berikan Subsidi Listrik bagi Ekonomi Lemah
Ia menilai pembatasan impor BBM oleh ESDM justru mengurangi kebebasan konsumen untuk memilih.
“Dengan berlakunya surat edaran tersebut, pihak yang paling dirugikan adalah konsumen, dan Kementerian ESDM patut diduga melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen,” kata Latifah.
Untuk itu, ia menyarankan pemerintah mengadopsi pendekatan hukum yang lebih responsif dan partisipatif, serta memberi kompensasi bagi konsumen terdampak.
Baca Juga:
Hadirkan Pemerataan Akses Listrik Bagi Seluruh Rakyat, ALPERKLINAS Dorong BUMN Lainnya dan Swasta Ikuti Program PLN Beri Bantuan 8000 Listrik Gratis pada HLN 2025
“Pemerintah harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk konsumen, pelaku usaha, dan lembaga pengawas dalam proses perumusan kebijakan,” ujarnya.
Sementara itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai kebijakan pembatasan impor BBM non-subsidi justru mengganggu pasokan dan memperkuat dominasi pasar Pertamina.
KPPU mengungkapkan bahwa kebijakan ini membatasi ruang gerak badan usaha swasta yang bergantung pada impor dan berpotensi menekan pilihan konsumen di pasar.